Belajar
seharusnya menjadi kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia. Di dalam kehidupannya, setiap momen baru bagi manusia adalah
belajar. Namun, ketika sistem persekolahan mulai diperkenalkan ,
pengertian belajar yang sesungguhnya itu seolah-seolah menjadi
kegiatan yang terpisah dari kehidupan manusia. Untuk memperoleh
legalitas bahwa dirinya sudah belajar, orang terpaksa harus belajar
disebuah lembaga pendidikan atau sekolah. Bagi orang kebanyakan,
sekolah telah dianggap merampas haknya untuk belajar. Sebagian agi
ada yang terkejut, tatkala menyadari bahwa lembaga pendidikan yang
tadinya dikira mapan, ternyata juga terguncang olehpesatnya kemajuan
atau perubahan yang terjadi di luar. Dihadapkan pada kenyataan ini,
mungkin disinilah pendidikan luar sekolah memperoleh legitimasi yang
cukup kuat.
Keinginan untuk
mewujudkan suatu pendidikan universal melalui sekolah tidak mudah
dilakukan. Akan lebih gampang jika pendidikan universal ini dilakukan
melalui lembaga alternative dengan menjiplak gaya persekolahan.
Paling tidak, usaha seperti itulah yang kemudian dilakukan oleh
departemen pendidikan national (depdiknas) sjak tahun 1998 melalui
apa yang mereka namakan pusat kegiatan belajar masyarakat (pkbm).
Pkbm lahir dari
satu kesadaran bahwa lembaga persekolahan telah membuat banyak orang
yang kurang beruntung secara ekonomi menjadi tidak mampu membedakan
proses dari substansi. Seperti dikatakan ivan illich dalam
deschooling society (1971), ketika proses dan substansi ini
dicampurbaurkan muncul logika baru bahwa semakin banyak pengajaran
membuat hasil lebih baik. Dengan kata lain, penambahan materi
pengetahuan bissa menjamin kesuksesan. Akibat lebih lanjut, siswa
telah mempersepsikan sama antara pengajaran dengan kegiatan belajar.
Meski tidak secara
persis berangkat dari adanya keinginan untuk mengembalikan proses
belajar kepada kehidupan masyarakat, usaha PKBM yang dilahirkan
Direktorat jenderal pendidikan luar sekolah dan pemuda (PLSP)
Departemen Pendidikan Nasional itu patut dihargai. Paling tidak PKBM
Dimaksudkan menjadi pusat kegiatan belajar yang didirikan oleh
masyarakat untuk memberikan pengajaran dan melatih kemandirian
anggotanya.
Ide pendirian PKBM
pertama kali dicetuskan pada pertegahan tahun 1998 sebuah program
pelayanan pendidikan luar sekolah yang dirancang berbasis pada
masyarakat. Secara kelembagaan pada tahun 1998 itu juga PKBM mulai
didirikan.
Selain keterpurukan
ekonomi yang melanda Indonesia, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat cepat juga mendorong lahirnya PKBM. Pesatnya
perkembangan itu diakui telah membuat apa yang dipelajari di sekolah
sebelumnya selalu ketingalan. Kondisi seperti ini yang kemudian
mendorong peran PLSP tidak hanya sekedar berupaya menghapuskan angka
buta huruf, tetapi juga bagaimana memberikan bekal bagi pemberdayaan
masyarakat melalui pelatihan.
Bagi kelompok
masyarakat marginal, apa yang diberikan oleh institusi pendidikan
formal kerap dirasakan tidak relevan. Bahkan, materinya dianggap usag
karena sudah ketinggalan zaman. Dalam kasus ini, resep klasik yag
mengatakan bahwa kalau mau berhail maka belajarlah pada lembaga
pendidikan terkenal sudah tidak bisa dipakai lagi.
Sekarang tersedia
demikian besar dan banyak tempat belajar untuk menyerap pengetahua
dengan caranya sendiri. Bahkan, cara ini bisa sangat berbeda dengan
institusi pendidikan formal di Indonesia pada umumnya. Kecenderungan,
inrnasional saat ini tampak bahwa institusi pendidikan formal telah
kehilangan monopoli sebagai pengantara ilmu dan pendidikan. Apalagi
guru, merekapraktis sudah kehilangan legitimasinya sebagai penyampai
pengetahuan dan menjadi sumber yang katanya harus digugu dan ditiru.
Ditengah situasi
yang demikian, PKBM dapat menjadi pusat bagi seluruh kegiatan beajra
masyarakat dalam rangka peningkatan pengetahuan,
keterampilan/keahlian, hobi atau bakatnya yang
dikelola/diselenggarakan sendiri oleh masyarakat. Kemandirian
masyarakat baik sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun
untuk peningkatan taraf hidup yang lebih baik itulah sasaran yang
ingin dicapai. Selain itu, tentu saja ada kaitannya dengan
pelaksanaan otonomi daerah.
PKBM diharapkan
dapat menjadi tempat pembelajaran masyarakat sesuai denga potensi
daerah untuk menggerakkan pembanguan dibidang social, ekonomi, dan
budaya. PKBM juga diharapkan dapat berfungsi sebagai sumber
informasi yang andal bagi masyarakat yang emmbutuhkan keterampilan
fungsional. Selain itu, PKBM diharapkan pula berfungsi sebagai tempat
tukar menukar berbagai pengetahuan dan keterampilan fungsional
diantara warga masyarakat.
PKBM diprioritaskan
untuk melayani masyarakat yang tidak tertampung dalam sstem
persekolaha formal dan sekolah terbuka. Saat ini, masih terdapat 5,2
juta orang usia 10-44 tahun masih buta huruf. Kalau ditambahkan denga
anak yang putus sekolah tahun 2000, maka akan mencapa sekitar enam
juta. Jadi, masih ada enam juta anak Indonesia yang belum terpenuhi
hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan dasar melalui persekolahan
formal dan sekolah terbuka.
Saat ini, diseluruh
Indonesia terdapat sekitar 1.600 PKBM yang diprakarsai dan dikelola
oleh berbagai kelompok masyarakat. Ada yang dikelola perorangan,
perusahaan, lembaga Kursus, pesantren, LSM maupun masyarakat lainnya.
Kegiatan PKBM merupakan usaha nyata dari masyarakat untuk membantu
pemberantasan buta huruf, program kelompok belajar (kejar) paket a
(setara Sd/mi) dan kejar paket B (setara smp/mts) yang dilakukan
PKBM, misalnya sangat membantu program penyuksesan wajib belajar
sembilan tahun.
Satu hal yang
dilupakan aparat pelaksana pkbm adalah meskipun mereka menyadari
adanya keragaman dan kekhasan daerah masing-masing, masih terlihat
adanya penekanan pada pembentukan struktur organisasi. Pelaksanaan
pkbm belum benar-benar memainkan peranan sebagai fasilitator yang
melakukan empowerment terhadap masyarakat di daerah.
Dalam proses
belajar usaha kemandirian, pkbm-lah yang mempunyai modal dan
alat-alat produksi. Peserta di pkbm, setelah selesai belajar
masyarakat didalamnya tetap tidak memiliki alat produksi kecuali
tenaga dan kemampuan/keahliannya. Artinya, mereka hanya bisa hidup
dari penjualan “jasanya”. Tetapi paling tidak, tenaga yang yang
dijual itu sudah memiliki keahlian.
Secara teknis,
pengurus pkbm masih ada yang diduduki aparat pejabat setempat.
Pelaksananya pun masih dinilai berdasarkan jumlah dan prestasi
pejabat melahirkan PKBM dan bukan dari keberhasilan masyarakat untuk
mandiri. Namun, sekecil apapun usaha untuk pemberdayaan masyarakat,
pasti akan membekas. Tetu saja asal tetap sama-sama memahami bahwa
semua orang itu guru sekaligus murid dalam sekolah alam raya yang
maha luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar