Pembangunan
dalam era global saat ini penuh dengan persaingan yang semakin ketat
dan tajam. Oleh karena itu hanya dengan sumber
daya manu-sia (SDM) yang berkualitas dan mempunyai daya saing yang
unggul maka lembaga tersebut akan muncul sebagai pemenang dalam
kompetisi. Pem-bangunan saat ini bergerak dengan begitu cepat.
Hal itu ditandai dengan adanya perubahan yang mendasar dalam bidang
ilmu pengetahuan. Saat
ini telah terjadi revolusi teknologi informasi (information
technology revolution).
Revolusi teknologi informasi tersebut telah memunculkan fenomena baru
tentang dunia tanpa batas dalam pergaulan dunia
internasional. Hubungan negara-bangsa (nation-state)
mulai berubah tanpa ada sekat-sekat. Salah satu bentuk nyata dari
teknologi informasi yang sangat berpengaruh tersebut adalah teknologi
komunikasi (telepon
selular, faxsimile, internet).
Teknologi telekomunikasi dan informasi tersebut ternyata mampu
mempengaruhi ideologi, konsep, kebijakan, sikap, perilaku,
dan mindsetindividu,
kelompok, maupun perilaku birokrat dalam setiap pergaulan
internasional berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena
teknologi informasi tersebut dapat diakses dan mampu
menghubungkan setiap orang di dunia ini dari belahan manapun tanpa
ada sedikitpun batas dan sensor yang menghalanginya. Masyarakat dunia
dapat berkomunikasi secara langsung dalam bentuk apa saja, dimana
saja, dan kapan saja, sehingga waktu tidak menjadi halangan dan
alasan untuk saling berkomunikasi.
Aspek Pembangunan | Paradigma Lama | Paradigma Baru |
Tujuan Pembangunan | Menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan titik fokus pada strategi pembangunan “trickle down effects” | Menekankan pada pertum buhan ekonomi, pemerataan dan berkelanjutan dengan titik fokus pada strategi pe mbangunan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan |
Fokus Pembangunan | Pembangunan sumber daya alam | Pembangunan sumber daya manusia |
Strategi Pembangunan | Mengarah pada eksploitasi | Mengarahpada pengembang an |
Strategi Investasi | Menekankan pada tanah, buruh, dan modal | Menekankan pada ilmu pengetahuan dan informasi |
Perspektif Pembangunan | Nasional-sentralistik-birokratik | Global villages dan desentralistik-debirokratik |
Pembangunan SDM | Orientasi pada otot | Orientasi mind |
Pendidikan | Orientasi bukan ijasah sekolah | Pendidikan sepanjang hayat standard kompetensi |
Dari perubahan
paradigma pembangunan tersebut maka lahirlah berbagai perencanaan
kebijakan pembangunan yang strategis, praktis, tematis, dan mengarah
para orientasi kebijakan desentralisasi. Tentunya tidak terkecuali
terhadap kebijakan pembangunan pendidikan. Kebijakan tersebut juga
dikenal dengan kebijakan otonomi pendidikan dengan isu sentral
schools
and community base management untuk
pendidikan formal dan learning
centers base management untuk
pendidikan non formal. Dengan demikian hanya negara yang memiliki
keunggulan dalam pengembangan sumber daya manusia maka negara
tersebut akan berperan menentukan perkembangan dunia.
Pentingnya
Pendidikan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia
Sejalan dengan
perkembangan pembangunan tersebut di atas dunia pendidikan di
Indonesia dihadapkan pada tiga tantangan besar. Pertama,
sebagai dampak krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat
mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah
dicapai.Kedua,
untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan dituntut untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing
dalam pasar kerja global. Ketiga,
dalam kaitannya dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu
dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap berbagai kebijakan
pendidikan sehingga dapat mewujudkan proses transformasi pendidikan
yang lebih demokratis, mengadopsi ide-ide keberagaman budaya,
kebutuhan/keadaan daerah, heterogenitas peserta didik dan mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat. Permasalahan lain pendidikan yang
mengemuka saat ini adalah (1) masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi
pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping
belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan
teknologi di kalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan
juga terjadi antarwilayah geografis, yaitu antara perkotaan dan
pedesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan
barat Indonesia (KBI), dan antar tingkat pendapatan penduduk ataupun
antargender. Disamping itu ada masalah-masalah lain yang masih
ada kaitannya dengan pendidikan yang semakin menonjol pada
akhir-akhir ini adalah pelaksanaan desentralisasi
pendidikan.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan ternyata banyak menimbulkan
kesulitan baru, dimana muncul gejala ketidakharmonisan dan
ketidakterpaduan pelaksanaan program antar pusat, propinsi, dan
kabupaten/kota. Tenaga kependidikan di tingkat Kabupaten/Kota
belum siap menerima otonomi pendidikan, apalagi otonomi kelas dan
otonomi pusat pembelajaran, masih ada perbedaan visi, misi dan
strategi yang cukup mendasar dalam pelayanan pendidikan, sulitnya
melakukan koordinasi antar pusat dengan daerah atau antar daerah
akibat terbatasnya kewenangan pusat dan luasnya jangkauan wilayah
layanan departemen, dan sulitnya melakukan kontrol kualitas secara
langsung. Oleh karena itu menjadi penting kebijakan peningkatan
sumber daya manusia. Kunci utama terciptanya kualitas dan pemerataan
pembangunan pendidikan adalah pengembangan manajemen kelembagaan yang
strategis dan terpadu serta pengembangan tenaga kependidikan. Apabila
dibandingkan dengan 12 negara Asia lainnya, kualitas pendidikan
Indonesia masih berada pada posisi 12. Posisi tersebut satu tingkat
lebih rendah dengan negara Vietnam. Hal ini digambarkan oleh hasil
penelitian dari PERC (Political
and Economic Risk Consultancy)
yang mengkaji mutu pendidikan dan kualitas tenaga kerja. Ada beberapa
variabel yang digunakan untuk menilai hal tersebut, yaitu: (1)
Kinerja keseluruhan tentang sistem pendidikan di satu negara; (2)
Penduduk yang memiliki pendidikan dasar; (3) Penduduk yang memiliki
pendidikan menengah; (4) Penduduk yang memiliki pendidikan tinggi dan
Pascasarjana; (5) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif;
(6) Ketersediaan tenaga kerja produktif berkualitas tinggi; (7)
Jumlah biaya untuk mendidik tenaga teknis; (8) Ketersediaan tenaga
teknis; (9) Jumlah biaya untuk mendidik staf manajemen; (10)
Ketersedian staf manajemen; (11) Tingkat keterampilan tenaga kerja;
(12) Semangat kerja (work
ethic)
tenaga kerja; (13) Kemampuan berbahasa Inggris; (14) Kemampuan bahasa
Asing selain bahasa Inggris; (15) Kemampuan penggunaan teknologi
tinggi; (16) Tingkat keaktifan tenaga kerja (labour
activism);
(17) Frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja yang pensiun
(labour
turn over).
Hasil analisis dari variabel di atas dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Di samping kajian
yang dilakukan oleh PERC di atas, menurut UNDP, Indek Pembangunan
Manusia (Human
Development Index)
Indonesia berada pada urutan 111 dari 175 negara (UNDP, 2004).
Posisi tersebut tidak terlepas dari berbagai masalah indikator
pendidikan, seperti APM (Angka Partisipasi Murni) usia 0-24 tahun
berjumlah 46.929.690 (44,96%) dari jumlah 104.376.163 dan jumlah
sasaran pendidikan yang tidak terlayani adalah 55,04% dari jumlah
tersebut. Tabel di bawah ini menjelaskan secara
lengkap tentang sasaran dan capaian dalam pendidikan saat ini.
Sedangkan angka
mengulang kelas SD dan SLTP tahun 2000/2001 adalah 5,90% dan 0,31%.
NEM rata-rata SD masih rendah, masih berkisar antara 5,67 sampai
dengan 6,17 dan NEM rata-rata SLTP berkisar antara 5,08 sampai dengan
6,04, NEM rata-rata SMU IPA berkisar antara 3,57 sampai dengan 6,48,
dan NEM rata-rata SMU IPS 3,83 sampai dengan 5,89. Kualifikasi
sekolah (SLTP) yang ”baik sekali” baru mencapai 0,07% dan yang
berkualifikasi ”baik” 3,25% dari SLTP 21.135 yang ada (Dikdasmen,
2000/2001). Kondisi penduduk buta aksara saat ini, untuk usia 10
tahun ke atas adalah 15,5 juta, usia 15 tahun ke atas adalah 15,4
juta, 10-44 th adalah 4,1 juta, usia 15-44 th adalah 3,9 juta dan
usia 45 tahun ke atas adalah 11,2 juta. Masih banyaknya angka buta
aksara tersebut dikarenakan (1) anak putus sekolah pada kelas 1, 2,
dan 3 Sekolah Dasar masih tinggi, yaitu: berkisar antara
200.000 sampai dengan 250.000 anak per tahun, (2) masih
tingginya angka buta aksara kembali, yaitu sekitar 4% yang
mengalami reilliterate;
(3) biasanya warga belajar yang mampu menyelesaikan pendidikan
keaksaraan tidak sesuai dengan standar kemampuan yang
ditentukan; (4) warga belajar tidak menggunakan kemampuannya setelah
selesai mengikuti program pendidikan keaksaraan, tidak
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari; (5) warga belajar yang
berhasil menyelesaikan program hanya mampu berhasil membina kemampuan
keaksaraan dasar seperti : membaca, menulis dan berhitung (basic
literacy);
(6) program pemberantasan buta aksara sering berjalan pasang surut;
(7) anggaran pendidikan keaksaraan tidak termasuk anggaran dari
pemerintah daerah, kalaupun ada persentasenya kecil, tapi ada juga
daerah yang besar anggarannya; (8) jumlah Kabupaten/Kota yang
mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keaksaraan masih sedikit,
sebagai gambaran, dari 23 Kabupaten/Kota, hanya 6 daerah
mengalokasikan anggaran, sedangkan 17 Kabupaten/Kota tidak
mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keaksaraan (Dit. Dikmas,
2003); (9) Dari 23 Kabupaten/Kota yang ada Lembaga Koordinasi PBH
hanya 2 dan 21 Kabupaten/kota tidak mempunyai Lembaga
Koordinasi PBH; (10) pemberantasan buta aksara dilakukan dan
dibebankan ke Dinas pendidikan setempat. Bukan menjadi gerakan
daerah yang langsung digerakkan oleh Bupati. Dari 23 Kabupaten/kota
hanya 1 Kabupaten yang melaksanakan PBH secara baik, dengan
menmbentuk satgas; (11) dari 23 Kab/kota yang mengeluarkan Perda
untuk PBH tidak ada; (12) pelaksanaan PBH di kelompok belajar dengan
anggota WB 5 – 10, lama belajar tidak tentu, sangat beragam.
Pertemuan dalam kelompok belajar dilakukan seminggu 2 kali a 2 jam/45
menit pada sore hari, kurang intensif; (13) tidak jelas kapan orang
dikatakan dapat melek huruf, belum ada alat ukur yang standar,
diperkirakan rata-rata di atas 1 tahun; (14) rata-rata buta aksara di
tiap Kabupaten/Kota adalah 8,02%; (15) organisasi PBH masih dilakukan
oleh perorangan, Yayasan, lembaga dan organisasi sosial, PKBM,
dan SKB. Belum terkelola secara rapi menjadi gerakan yang sistematis;
(16) rata-rata tiap Kabupaten/Kota hanya memberantas 489 orang,
dengan komposisi 65 % perempuan, dan 35 % laki-laki, dari kelompok
masyarakat sosial ekonomi rendah; (17) tutor pendidikan keaksaraan
hampir semua tidak mempunyai buku pegangan, hanya menggunakan
tema-tema tertentu, dengan metoda kata kunci; (18) bahan lain seperti
kartu huruf alat permainan, poster dan lain-lain belum dikembangkan,
yang ada hanya daftar kartu alphabet; (19) warga belajar hanya punya
alat tulis dan buku tulis; (20) tingkat kehadiran warga belajar
sekitar 40%- 60 %, dikarenakan warga belajar sibuk mencari nafkah,
rata-rata berasal dari ekonomi rendah, dan belum paham arti dan
manfaat pendidikan keaksaraan; (21) motivasi peserta pelatihan tutor
pendidikan keaksaraan rendah; (22) organisasi pelaksanaan pendidikan
keaksaraan tidak rapi di setiap daerah dan belum bersifat lintas
sektoral dan di bawah satu komando dengan dipimpin oleh
Bupati/Walikota; (23) pendidikan keaksaraan belum dilihat sebagai
pembangunan manusia secara komprehensif; (24) belum ada satgas-satgas
di tingkat desa, Kecamatan, dan Kabupaten dan; (25) setiap dinas
belum terlibat dalam gerakan pendidikan keaksaraan. Kondisi ini kalau
digambarkan dalam bagan secara ringkas adalah seperti di bawah
iniKondisi penduduk buta huruf tidak terlepas juga dari
kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak usia dini/pra sekolah
sekarang ini. Pendidikan anak usia dini tidak dipersiapkan
secara maksimal. Pendidikan, perawatan kesehatan, dan gizi anak usia
dini belum menjadi pusat perhatian yang intensif dari seluruh
komponen bangsa ini, sehingga hal ini juga mendukung lemahnya anak
memasuki proses pembelajaran di pendidikan formal dan non formal.
Kurangnya perhatian tersebut dapat dilihat dari tabel data pencapaian
pendidikan pada anak usia dini saat ini.
Tabel
Distribusi anak dini usia (0-6 tahun) yang terakses
melalui
layanan pendidikan tahun 2002
No. | Propinsi |
Jumlah
Anak
Usia
0-6
tahun
|
Jumlah anak yang memperoleh layanan pendidikan melalui | Jumlah |
%
Terakses |
|||||
SD | BKB | TK | RA | KB | TPA | |||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 (4s/d9) | 11(10:3) |
1 | Jawa Barat & Banten | 5.648.080 | 498.777 | 629.333 | 148.424 | 44.884 | 480 | 1.704 | 1.329.209 | 24 % |
2 | Jawa Timur | 3.900.814 | 338.815 | 602.600 | 508.576 | 123.891 | 288 | 84 | 1.585.803 | 41 % |
3 | Jawa Tengah | 3.634.847 | 420.648 | 408.183 | 286.060 | 125.070 | 432 | 252 | 1.242.044 | 34 % |
4 | Sumatra Utara | 1.683.083 | 171.163 | 212.401 | 37.375 | 5.554 | 48 | 3.816 | 431.047 | 26 % |
5 | Aceh | 566.553 | 45.798 | 163.905 | 24.470 | 4.500 | 24 | 360 | 232.613 | 41 % |
6 | Yogyakarta | 273.825 | 33.744 | 47.484 | 57.551 | 2.328 | 264 | 324 | 142.622 | 52 % |
7 | Sulawesi Selatan | 1.064.517 | 91.562 | 28.633 | 51.288 | 11.937 | *) | 36 | 185.285 | 17 % |
8 | Sumatra Barat | 618.885 | 57.322 | 22.539 | 37.512 | 8.174 | 336 | 132 | 126.571 | 20 % |
9 | Jakarta | 929.633 | 121.131 | 47.690 | 83.038 | 14.744 | 2.424 | 228 | 269.709 | 29 % |
10 | Lampung | 916.436 | 105.516 | 22.859 | 43.071 | 4.961 | 168 | 72 | 185.465 | 20 % |
11 | Kalimantan Timur | 351.630 | 44.056 | 38.621 | 20.614 | 2.083 | 120 | 120 | 106.682 | 30 % |
12 | Sulut & Gorontalo | 347.750 | 46.554 | 30.750 | 26.806 | 464 | *) | 12 | 106.385 | 31 % |
13 | B a l I | 369.157 | 42.903 | 25.937 | 34.289 | 1.750 | *) | 36 | 108.659 | 29 % |
14 | R i a u | 669.552 | 78.886 | 21.495 | 28.111 | 4.460 | *) | 720 | 136.862 | 20 % |
15 | J a m b I | 322.608 | 35.881 | 26.278 | 11.280 | 2.758 | 120 | 48 | 77.525 | 24 % |
16 | Bengkulu | 201.598 | 25.411 | 35.306 | 8.783 | 1.880 | *) | 48 | 71.742 | 36 % |
17 | Kalimantan Selatan | 388.438 | 45.047 | 11.197 | 25.899 | 12.640 | 96 | *) | 102.347 | 26 % |
18 | Sulawesi Tengah | 320.756 | 32.965 | 15.020 | 17.964 | 2.152 | *) | 12 | 68.992 | 22 % |
19 | Sumsel & Babel | 982.503 | 120.718 | 32.351 | 29.040 | 6.711 | *) | 156 | 189.641 | 19 % |
20 | Irian Jaya | 360.416 | 37.472 | 6.239 | 12.916 | 562 | *) | 540 | 58.559 | 16 % |
21 | Sulawesi Tenggara | 278.367 | 34.112 | 29.624 | 12.721 | 1.039 | *) | 12 | 78.300 | 28 % |
22 | Kalimantan Tengah | 235.447 | 25.067 | 3.946 | 10.407 | 2.861 | 48 | 12 | 42.379 | 18 % |
23 | Kalimantan Barat | 527.733 | 64.095 | 22.941 | 11.422 | 2.848 | *) | 444 | 101.487 | 19 % |
24 | NTT | 660.615 | 40.568 | 15.277 | 18.787 | 1.485 | *) | 12 | 77.502 | 12 % |
25 | N T B | 564.943 | 45.578 | 12.271 | 25.274 | *) | *) | 36 | 84.050 | 15 % |
26 | Maluku & Malut | 354.577 | 37.473 | 13.325 | 11.789 | 557 | *) | *) | 58.511 | 17 % |
Jumlah | 26.172.763 | 2.641.262 | 2.526.204 | 1.583.467 | 390.413 | 4.848 | 9.216 | 7.199.990 | 27 % |
*)
tidak ada data
Sumber: SD
(Depdiknas,00/01), BKB (BKKBN,00/01), TK (Depdiknas,00/01), RA
(Depag,98/99), TPA & KB (Depsos & Depdiknas,00/01).
Data di atas
memberikan makna bahwa dari 26.172.763 anak usia 0-6 th, hanya
7.199.990 (27%) anak yang baru dapat terlayani pada program
pendidikan anak usia dini. Sedangkan 73% anak usia dini tidak
terfasilitasi pengembangan kemampuannya. Padahal anak-anak tersebut
sangat membutuhkan perhatian yang sangat serius. Masa Golden
age tersebut
seharusnya mendapatkan stimulasi yang maksimal dan mendapat perawatan
kesehatan dan gizi yang standar. Pada masa-masa itu (0-6 th)
perkembangan otak anak dapat mencapai 85%.
Gambaran
tersebut memperlihatkan bahwa baik secara kuantitatif dan kualitatif
maka pencapaian pendidikan di Indonesia masih jauh dari apa yang
diharapkan. Posisi negara Indonesia di Asia dan dunia internasional
ternyata menunjukkan posisi yang selalu di bawah negara-negara ASEAN,
bahkan di bandingkan dengan negara Vietnam Indonesia masih lebih
rendah. Target-target pendidikan tidak sepenuhnya tercapai.
Pengaruh
Situasi dan Kondisi Sosial Ekonomi Terhadap Daya Beli Masyarakat
Setelah krisis
ekonomi mulai tahun 1997 maka perekonomian kita dapat dikatakan masih
belum pulih sepenuhnya, tingkat pendapatan masih berada di bawah $
1.000. Angka pertumbuhan ekonomi 4,8%, laju inflasi sekitar 6,5%. Hal
ini mengindikasikan berbagai sektor industri mengalami kelesuan,
tidak mampu berproduksi secara maksimal. Apalagi telah terjadi PHK
dan pemogokan dalam skala luas. Banyaknya (sekitar 200.000 lebih)
pekerja di Malaysia dipulangkan, ini juga menambah beban sosial dan
ekonomi negara dan masyarakat secara keseluruhan. Lebih lagi ditambah
dengan tingkat kemiskinan Indonesia yang masih tinggi, yaitu
38,4 juta penduduk dalam kategori miskin. Hal ini tercermin dari
grafik di bawah ini.
Kecenderungan
kemiskinan mulai dari tahun 1998 sampai 2002 masih bersifat
fluktuatif. Dengan angka kemiskinan yang masih belum turun secara
signifikan, maka mengindikasikan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan
belum memberikan kontribusi secara positif. Beban kemiskinan,
pengangguran, dan lesunya kondisi ekonomi membuat pertumbuhan ekonomi
tidak mampu dipacu melewati angka 5%. Bila dibandingkan
negara-negara ASEAN,
maka Indonesia masih paling rendah pertumbuhan ekonominya
Perkembangan
perekonomian Indonesia sekarang ini mengalami kemunduran karena
sektor ekspor saat ini hanya bertumpu pada kegiatan industri primer
seperti pertambangan dan pertanian. Hal itu terbukti dari hasil
survei yang dilakukan BI pada tahun 2003 terhadap 30 komoditas ekspor
andalan, ternyata hanya delapan komoditas yang tumbuh positif. Dari
delapan komoditas itu, tujuh di antaranya berasal dari sektor
pertambangan seperti timah dan sektor pertanian seperti kelapa sawit
dan pulp (bubur
kertas).
Pada tahun terakhir
ini ekspor Indonesia sepertinya mengalami peningkatan, akan tetapi
kondisinya menunjukkan keadaan sebaliknya. Indonesia sudah set
back kepada
satu situasi bahwa perekonomian kita kembali menjadi perekonomian
yang bertumpu pada industri atau kegiatan sektor primer. Sementara
sektor sekunder yang tumbuh positif hanya satu, yaitu elektronik.
Kondisi ekspor sekarang ini sangat berbeda dibandingkan dengan tahun
1993-1998, karena saat itu dari 30 komoditas yang di survei, 28
komoditas tumbuh positif, bahkan hingga 40% per tahun. Dilihat daya
saingnya, 30 komoditas ekspor andalan Indonesia banyak yang bisa
bersaing namun tidak tumbuh. Sementara ada juga industri yang tidak
bisa bersaing namun tumbuh karena tidak adanya arahan dari pemerintah
dan perbankan. Ekspor memang lebih banyak didorong oleh industri
primer daripada industri sekunder. Banyak persoalan yang membuat
kinerja industri sekunder sulit berkembang, misalnya, soal fiskal
atau pajak pertambahan nilai (PPN), instrumen fiskal kurang mendorong
industri sekunder yang berbasis bahan baku alam. Akibatnya, ekspor
lebih banyak dilakukan dalam bentuk komoditas primer dan kurang
diolah oleh industri sekunder untuk menghasilkan produk yang bernilai
tambah. Contohnya komoditas kakao atau kopi. Penjualan komoditas kopi
kepada industri pengolahaan atau industri hilir dikenai PPN sebesar
10%. Akibatnya, produk kakao lebih banyak diekspor dalam bentuk
primer. Dengan demikian, industri sekunder kurang dapat bertumbuh.
Masih muncul
ketidakjelasan mengenai pengertian atau terminologi industri primer
dan industri sekunder. Industri sekunder, seperti industri manufaktur
yang padat karya, termasuk industri primer, juga menghadapi banyak
persoalan. Misalnya, komponen biaya produksi yang tinggi dari bahan
baku, energi, buruh, sampai transportasi. Hal itu menyebabkan tingkat
daya saing produk, seperti dari segi harga, menjadi rendah. Apalagi,
industri di dalam negeri dihadapkan pada persaingan tidak sehat
akibat maraknya barang impor ilegal atau penyelundupan.
Sektor perbankan
masih belum sepenuhnya mendorong sektor industri manufaktur dan
investasi, termasuk sektor usaha kecil dan menengah. Sektor perbankan
cenderung memberikan pembiayaan pada sektor-sektor yang konsumtif.
Kondisi itu dapat mempengaruhi perkembangan industri secara
keseluruhan. Hasil Survei Pemetaan Dunia Usaha oleh BI menunjukkan
terjadinya peningkatan pada kelompok komoditas ekspor yang mengalami
pertumbuhan negatif. Sebelum krisis, yakni pada periode 1993-1997,
dari 30 komoditas ekspor unggulan, hanya 2,1% yang mengalami
pertumbuhan negatif. Namun pada periode 1998-2003 angkanya meningkat
menjadi 32,5%. Pada tahun 2003 dan 2004 angkanya meningkat lagi
menjadi masing-masing 46,7% dan 41,4% (hingga April). Grafik di bawah
ini banyak memberikan gambaran mengenai pertumbuhan sektor industri
dan perdagangan mulai tahun 1990-2003.Survei tersebut juga memberikan
informasi yang lebih rinci mengenai situasi yang dihadapi perusahaan
eksportir utama. Perusahaan ini dapat dikelompokkan dan dimasukkan ke
dalam suatu kuadran yang terdiri atas kelompok industri yang
kompetitif namun bertumbuh. Prioritas yang terbesar dapat diarahkan
kepada perusahaan eksportir dengan daya saing tinggi namun tidak
bertumbuh. Hal yang harus dilakukan pada masa mendatang
adalah menjaga stabilitas ekonomi, mengurangi kemiskinan dan
pengangguran, serta mendorong sektor Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) sebagai
tulang punggung perekonomian Indonesia. Stabilitas ekonomi Indonesia
mendapat tantangan yang berat dengan terus naiknya harga minyak
mentah di pasar dunia, hingga mendekati 50 dollar AS per barrel.
Akibatnya, pemerintah harus membayar subsidi BBM lebih besar, dan
upaya mendorong sektor ekonomi lain seperti UMKM menjadi berkurang.
Melemahnya pertumbuhan ekonomi China dan Jepang secara tidak langsung
akan memperlemah laju ekspor Indonesia dalam waktu dekat. Sementara
untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, seharusnya lebih banyak
mengekplorasi banyaknya sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
belum optimal dimanfaatkan sehingga tidak tersia-siakan
keberandaannya. Untuk memanfaatkan itu maka perlu investasi. Namun,
investasi mensyaratkan stabilitas makro, politik dan berbagai kondisi
yang kondusif. Itu yang diharapkan dapat segera dibangun. Adapun
mengenai UMKM, BI harus peduli untuk mendorong perkembangan UMKM
meskipun tugas utama BI adalah menjaga stabilitas moneter. Tanpa
begitu maka UMKM akan mati sebelum menjadi besar. Semua itu karena
sudah terbukti bahwa ekonomi Indonesia adalah ekonomi UMKM.
Situasi dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat tersebut di atas sangat berpengaruh
terhadap daya beli buku masyarakat, dan pada gilirannya akan
mempengaruhi minat baca masyarakat secara umum.
Tantangan
dan Peluang Masa Depan
Dewasa ini kita
menyaksikan suatu peristiwa krisis pembangunan.Kapitalisme yang
diagungkan selama ini mengalami kejatuhan. Krisis terhadap
pembangunan saat ini pada dasarnya belum berakhir, tetapi mode
of domination telah
disiapkan, dan dunia memasuki era baru yakni, era globalisasi. Proses
globalisasi tentu sangat berkaitan dengan liberalisasi dan
desentralisasi. Kekuatan dari globalisasi terletak pada sistem
yanguncentralistic.
Oleh karena itu tema pembangunan lebih diarahkan pada kebijakan
desentralisasi dan otonomi. Tidak terlepas dengan kebijakan
pembangunan kita, yaitu otonomi daerah. Dengan adanya
kebijakan otonomi daerah tersebut maka membawa dampak yang sangat
banyak bagi daerah.Tantangan dan peluang daerah berkembang secara
cepat tentu sangat berat. Apabila dilihat dari tantangan yang
dihadapi maka yang muncul adalah masalah (1) sumber daya
manusia, daerah dengan potensi SDM yang masih sangat lemah tidak
memungkinkan percepatan pembangunan, gejala eksplorasi SDM tentunya
harus segera dilakukan secara maksimal, (2) Ada multipolarisasi
potensi sumber daya alam, ada daerah yang kaya, sedang, dan miskin
SDA, ini akan menjadikan daerah mempunyai kendala yang berbeda-beda.
Bagi daerah yang ”kaya” tentunya tantangannya adalah bagaimana
daerah tersebut mengelola secara benar dan maksimal, bagi daerah
”miskin” tantangannya adalah meggali potensi SDM secara maksimal
dan membangun jaringan jasa secara luas dan efektif, (3) Perilaku
negatif, ada perilaku konsumtif dari masyarakat yang mendukung budaya
konsumerisme, dan budaya ini menyuburkan budaya korupsi. Sedangkan
peluang yang dapat digali dan dimanfaatkan adalah (1) daerah
mempunyai kekuasaan penuh untuk membuat perencanaan dan melaksanakan
pembangunan tanpa intervensi dari pemerintah pusat maupun propinsi.
Kemandirian daerah secara langsung dapat dipunyai oleh daerah, (2)
Keputusan-keputusan strategis mengenai daerahnya dapat dilakukan
langsung oleh pejabat pemda dan lembaga dewan, tanpa harus menunggu
pesan dari pemerintah pusat, (3) Pembangunan lebih dapat
dimaksimalkan sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakatnya, (4)
Kemampuan untuk eksplorasi SDA dan SDM semaksimal mungkin tidak lagi
tergantung pada keputusan pemerinah pusat.
Krisis
ketidakpercayaan, krisis moral, ekonomi dan politik serta terjadinya
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang semakin terang-terangan dan sulit
diberantas masih berlangsung sampai saat ini, itu semua membawa
implikasi ke arah ketidakpastian secara nasional dalam berbagai
bidang, sehingga mengakibatkan : (1) meningkatnya jumlah pengangguran
akibat pemutusan hubungan kerja (PHK); (2) meningkatnya angka
kemiskinan; (3) meningkatnya angka putus sekolah; (4)
rendahnya mutu pendidikan; dan (5) rendahnya pemerataan
pendidikan; serta (6) meningkatnya remaja yang terkena narkoba,
(7) munculnya daerah konflik yang semakin banyak, (8) budaya
kekerasan dan pronografi yang semakin terbuka dan bebas, (9) perilaku
konsumerisme yang tidak mendukung budaya hemat dan mandiri.
Hal itu menjadi tantangan yang terberat bagi pembangunan masa depan. Pendidikan tidak dapat melepaskan tanggung jawab dari semua permasalahan dan tantangan di atas. Disamping permasalahan dan tantangan yang dihadapi maka ada beberapa peluang yang mungkin dapat dimanfaatkan, (1) perkembangan demokrasi semakin baik, sehingga partisipasi masyarakat akan semakin dapat peran yang labih maksimal, (2) Adanya iklim transparansi pemerintahan, sehingga memberikan peluang untuk koreksi secara total tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, (3) perilaku komunikatif melalui media informasi yang terbuka laus aksesnya, akan memberikan mobilitas yang tinggi terhadap kinerja lembaga, (4) Penataan pemerintahan yang demokratis, memberikan peluang kepercayaan masyarakat akan pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu untuk menghadapi tantangan dan peluang tersebut diperlukan strategi khusus, yaitu:
Hal itu menjadi tantangan yang terberat bagi pembangunan masa depan. Pendidikan tidak dapat melepaskan tanggung jawab dari semua permasalahan dan tantangan di atas. Disamping permasalahan dan tantangan yang dihadapi maka ada beberapa peluang yang mungkin dapat dimanfaatkan, (1) perkembangan demokrasi semakin baik, sehingga partisipasi masyarakat akan semakin dapat peran yang labih maksimal, (2) Adanya iklim transparansi pemerintahan, sehingga memberikan peluang untuk koreksi secara total tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, (3) perilaku komunikatif melalui media informasi yang terbuka laus aksesnya, akan memberikan mobilitas yang tinggi terhadap kinerja lembaga, (4) Penataan pemerintahan yang demokratis, memberikan peluang kepercayaan masyarakat akan pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu untuk menghadapi tantangan dan peluang tersebut diperlukan strategi khusus, yaitu:
- Menciptakan pola-pola baru peningkatan kualitas dan kuantitas ketenagaan dan kelembagaan;
- Menciptakan jaringan kerjasama (kemitraan) terpadu dengan lembaga non pemerintah, (LSM, private sectors) baik lembaga dalam negeri maupun luar negeri;
- Mencari peluang-peluang baru pendanaan terhadap kelembagaan;
- Menciptakan birokrasi kelembagaan yang efisien, ketat pengawasan, profesional dan tidak lamban.
Prinsip-prinsip yang
penting (the
essential principles)
dalam pengembangan dan peningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah
melalui program yang menarik, produktif, maju dan menguntungkan
(attractive,
productive, progressive, and profitable).Untuk
mencapai kualitas masyarakat seperti di atas harus dilandaskan pada
filosofi: life
long learning yang
bertumpu pada pendidikan untuk hidup (education
for life)
dan berorientasi pragmatism
learning.
Pendidikan berbasis pada kebutuhan aktual masyarakat, yaitu:
kebutuhan aktual masyarakat lokal, nasional dan global. Pendidikan
perlu didesain dengan paradigma baru, yaitu: homocentric
model,
yaitu menekan pada beberapa karakteristik, seperti : (a) Menekankan
partisipasi masyarakat dan lembaganon
government organizations dalam
proses pendidikan luar sekolah; (b) memfokuskan human
resources quality development;
(c) mengarahkan padalife
long learning and community learning;
(d) Menekankan pada kebutuhan masyarakat dalam setiap merancang
program pendidikan luar sekolah; (e) Pemerintah hanya sebagai
fasilitator dan motivator dalam proses penyadaran pendidikan.
Kunci keberhasilan
program pendidikan adalah adanya pembinaan tenaga kependidikan dan
kelembagaan yang terpadu, yaitu dengan membuat reposisi terhadap
pembinaan tenaga kependidikan dan kelembagaan, baik di level pusat,
regional propinsi dan daerah. Dengan strategi, menciptakan pola-pola
pembinaan secara kemitraan
yang koordinatif, bukan lagi vertikal-direktif (instruktif).
Kita harus berani mengkaji ulang berbagai tugas dan fungsi,
kompetensi ketenagaan dan kelembagaan kita. Kajian komprehensif
tersebut harus didasarkan pada kebutuhan aktual masyarakat, orientasi
produk dan kebutuhan masyarakat yang sedang aktual.
Dengan dukungan
tenaga dan lembaga yang kuat, maka kualitas program akan mampu
menjawab berbagai peluang dan tantangan tersebut di atas. Mengapa
pembinaan tenaga kependidikan dan kelembagaan sangat diperlukan?
Karena tanpa tenaga-tenaga pendidikan yang berkualitas dan
kelembagaan yang sistematis, sesuai dengan berbagai perkembangan
dalam masyarakat tentunya tidak akan didapat program-program yang
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kiranya akan sulit untuk berbicara mengenai mutu dan pemerataan program pendidikan luar sekolah dan pemuda di masyarakat kalau kita tidak mempunyai tenaga-tenaga kependidikan yang bermutu, berwawasan global, mempunyai mental pembaharuan dan keunggulan, bersikap enterpreneurshipdan kelembagaan yang sistemik dan komprehensif.
Kiranya akan sulit untuk berbicara mengenai mutu dan pemerataan program pendidikan luar sekolah dan pemuda di masyarakat kalau kita tidak mempunyai tenaga-tenaga kependidikan yang bermutu, berwawasan global, mempunyai mental pembaharuan dan keunggulan, bersikap enterpreneurshipdan kelembagaan yang sistemik dan komprehensif.
Dengan kelembagaan
ketenagaan dan kelembagaan yang sistemik dan komprehensif kita akan
mampu:
Pertama memfokuskan reinforcement SDM
kita secara maksimal guna mendukung keberhasilan program pendidikan
luar sekolah dan pemuda di masyarakat.
Kedua,
dapat tetap tergalang adanya sinkronisasi
dan koordinasi dalam
setiap bidang dan aspek program, agar pembangunan pendidikan luar
sekolah dan pemuda tetap dalam kerangka pembangunan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Caranya yaitu: dengan membuat pengkajian
perencanaan kelembagaan terpadu untuk peningkatan SDM Pusat,
Propinsi, dan Kabupaten/Kota, sehingga tidak terjadi ketimpangan
kualitas SDM, antar Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Ketiga,
dapat diciptakan program-program peningkatan bagi SDM yang
tidak konvensional lagi,
yaitu mencari paradigma baru pendidikan dan latihan (The
new educational and training paradigms)
yang mampu merubah sikap dan mental tenaga kependidikan kita, yaitu:
dari yang bermental birokrat menjadi tenaga kependidikan yang
mempunyai rasa butuh berprestasi (needs
for achievement)
dan mempunyai motivasi berprestasi tinggi (high
of achievement motivation),
mandiri, profesional serta tingkat pengabdian yang tinggi pula.
Dengan paradigma pendidikan dan latihan yang baru diharapkan akan
muncul SDM yang solid dalam prestasi dan mempunyai sikap
pengabdian yang tulus.
Keempat,
dilakukan pengkajian terpadu secara terus menerus tentang ketenagaan
pendidikan luar sekolah dan pemuda. Caranya yaitu: dengan menyusun
standar kompetensi, akreditasi dan kualifikasi terhadap ketenagaan
diklusepa secara terpadu baik tenaga di Pusat, Propinsi, dan
Kabupaten/Kota. Dengan ketiga jenis kegiatan pengkajian dan penilaian
(research
and assessment)
di atas kita akan mendapatkan profil dan kinerja (performance)
ketenagaan yang sesuai dan mampu menjawab beban tugas yang semakin
berat dan kebutuhan belajar yang berkembang cepat di masyarakat.
Pendidikan Non
Formal (Pendidikan Luar Sekolah) merupakan bagian integral dari
pembangunan pendidikan nasional yang diarahkan untuk menunjang upaya
peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia yang cerdas, sehat,
terampil, mandiri dan berakhlak mulia sehingga memiliki ketangguhan
dalam menghadapi berbagai tantangan. Pembangunan Pendidikan Non
Formal (PNF) secara bertahap terus dipacu dan diperluas guna memenuhi
kebutuhan belajar masyarakatyang tidak mungkindapat terlayani melalui
jalur pendidikan formal (PF). Sasaran pelayanan PNF diprioritaskan
pada warga masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus sekolah
penganggur/miskin dan warga masyarakat lain yang ingin belajar untuk
meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilannya sebagai bekal
untyk dapat hidup lebih layak. Dengan semakin meluasnya pelayanan
program PNF yang bermutu, akan memberikan kontribusi besar dalam
usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan semakin
berkurangnya penduduk buta aksara, suksesnya wajar 9 tahun dan
terciptanya tenaga-tenaga terampil yang siap memasuki dan membuka
lapangan kerja baru, yang pada gilirannya mampu meningkatkan
pendapatan dan produktivitas nasional serta manaikkan peringkat Indek
Pembangunan Manusia Indonesia (IPM).Pembangunan pendidikan saat ini
mengalami perubahan sistem yang mendasar. Pembangunan pendidikan
kita tidak bisa dilepaskan dari pembangunan secara utuh. Pendidikan
harus memberikan sumbangan bagi pembangunan secara keseluruhan.
Oleh karena itu pendidikan harus mampu merubah struktur masyarakat
yang statis ke arah sistem sosial yang dinamis. Pendidikan harus
mempengaruhi, merombak, mengubah, dan membentuk lembaga-lembaga
sosial-kultural. Pendidikan harus mendorong sikap individual ke arah
efektivitas, integritas, dan sikap komunal ke arah rasionalitas dan
fungsional. Sehingga pendidikan mampu berpengaruh secara inovatif
terhadap kondisi-kondisi kemasyarakatan yang menghambat perkembangan
pembangunan. Oleh karena itulah pembangunan pendidikan merupakan
bagian sistem pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan
demikian kebijakan mengenai pendidikan selalu terkait dengan
kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan pembangunan nasional
melalui Undang-Undang No 22 tahun 2000, mengamanatkan
adanya perubahan yang mendasar akan sistem pemerintahan, yaitu dari
sentralisasi menjadi otonomi daerah. Kebijakan ini berimplikasi
secara meluas juga pada bidang pendidikan. Dengan demikian kebijakan
pendidikan juga diarahkan pada desentralisasi pendidikan atau otonomi
pendidikan. Otonomi pendidikan memberi peluang berkembangnya program
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. Pemerintah
pusat sebagai lembaga pemerintah hanya berfungsi sebagai pembuat
standar, pedoman, pemantau dan fasilitator untuk memaksimalkan semua
potensi daerah masing-masing. Otonomi pendidikan pada dasarnya adalah
usaha mendekatkan pengambilan keputusan program terhadap sasaran
program, upaya untuk memberdayakan masyarakat pada skala mikro dengan
tingkat pengambilan keputusan program pada level sasaran program.
Tidak lagi pemerintah pusat intervensi dalam mengembangkan program.
Pemerintah daerah seharusnya melakukan perencanaan pendidikan dengan
berdasarkan asumsi potensi dan masalah yang ada di masyarakatnya.
Peran Pemerintah daerah Kab/Kota dalam mengelola pendidikan sangat
menentukan keberhasilan programnya.
Budaya Baca
Masyarakat Untuk Mendukung Peningkatan SDM
Salah satu ciri
perwujudan masyarakat belajar (learning
society)
adalah terwujudnya masayarakat gemar membaca, atau dengan kata lain
membaca menjadi aktivitas utama setiap anggota masyarakat dalam
masyarakat belajar. Sudah sangat lama bangsa Indonesia menginginkan
terwujudnya budaya membaca di kalangan masyarakat. Namun ternyata
sampai dengan usia kemerdekaan yang hampir 60 tahun, budaya membaca
itu belum nampak terwujud. Kebisaaan membaca hanya menjadi perilaku
sebagian kecil dari komunitas kaum terpelajar dan mereka yang sejak
lama memang telah mempunyai tradisi gemar membaca dari keluarganya.
Pada sebagian besar masyarakat Indonesia membaca lebih dirasakan
sebagai beban daripada sebagai sebuah kegiatan yang banyak bermanfaat
Dengan situasi
demikian, maka pewujudkan masyarakat belajar yang ditandai dengan
tampilnya budaya membaca, nampaknya masih perlu diupayakan dengan
berbagai cara. Bagi jajaran Departemen Pendidikan Nasional, lahirnya
sebuah prototype masyarakat
yang memiliki budaya membaca yang baik, merupakan salah satu komitmen
yang ingin selalu diperjuangkan. Sungguh mudah untuk membuat sebuah
pemahaman bahwa membaca merupakan sebuah aktivitas utama dalam
pembelajaran dan pendidikan. Tanpa hadirnya aktivitas membaca sebagai
sebuah perilaku budaya yang terlembagakan, maka proses pendidikan dan
pembelajaran akan banyak mengalami kendala. Secara sosio-psikologis,
orang melakukan aktivitas membaca pasti dengan alasan, tujuan, dan
makna yang berbeda-beda, di mana hal itu tergantung pada banyak hal.
Salah satu factor penentu variabilitas alasan, tujuan, dan makna
membaca adalah karakteristik pribadi dan karakteristik sosiologis
personal.
Secara opsional variasi alasan, tujuan, dan makna membaca dapat dibedakan, antara lain sebagai berikut; (1) sebagai bentuk pelaksanaan tugas utamanya, misalnya para redaktur surat kabar, pada editor dan penyunting buku, para sekretaris yang membaca draft-draft surat, kontrak, dan sebagainya, (2) sebagai cara memperoleh pengetahuan. Hal ini terjadi pada para pelajar, mahasiswa, akademisi, dan sebagian besar orang yang membutuhkan ilmu pengetahuan dari buku, (3) sebagai cara untuk menjaring informasi bagi pelaksanaan dan keberhasilan pekerjaan atau aktivitas lainnya, misalnya terjadi pada para pelaku dagang untuk mencari informasi tentang harga barang, nilai uang, distribusi barang, kebijakan tata niaga, dan sebagainya, (4) sebagai cara mengisi waktu luang, (5) sebagai hobi atau kegemaran.
Di antara berbagai alasan, tujuan, dan makna membaca tadi, pada umumnya masyarakat Indonesia melakukan aktivitas membaca lebih didorong karena alasan melaksanakan tugas dan memperoleh pengetahuan. Sedangkan yang melakukan aktivitas membaca demi alasan mencari ilmu pengetahuan, hobi, serta mengisi waktu luang belum banyak terjadi. Apabila sebuah aktivitas membaca sudah menjadi bagian dari perilaku budaya (berbudaya membaca) maka alasan untuk mencari ilmu, hobi, dan mengisi waktu luang tentu harus lebih dominan daripada demi alasan melaksanakan tugas atau alasan memperoleh ilmu pengetahuan. Kemanakah sebenarnya budaya membaca akan kita kembangkan? Bagaimanakah sebenarnya prototype masyarakat yang sudah berbudaya membaca? Apabila budaya membaca belum berkembang pada bangsa Indonesia. Tentu hal ini ada sebab-sebab atau faktor yang mempengaruhinya.
Secara opsional variasi alasan, tujuan, dan makna membaca dapat dibedakan, antara lain sebagai berikut; (1) sebagai bentuk pelaksanaan tugas utamanya, misalnya para redaktur surat kabar, pada editor dan penyunting buku, para sekretaris yang membaca draft-draft surat, kontrak, dan sebagainya, (2) sebagai cara memperoleh pengetahuan. Hal ini terjadi pada para pelajar, mahasiswa, akademisi, dan sebagian besar orang yang membutuhkan ilmu pengetahuan dari buku, (3) sebagai cara untuk menjaring informasi bagi pelaksanaan dan keberhasilan pekerjaan atau aktivitas lainnya, misalnya terjadi pada para pelaku dagang untuk mencari informasi tentang harga barang, nilai uang, distribusi barang, kebijakan tata niaga, dan sebagainya, (4) sebagai cara mengisi waktu luang, (5) sebagai hobi atau kegemaran.
Di antara berbagai alasan, tujuan, dan makna membaca tadi, pada umumnya masyarakat Indonesia melakukan aktivitas membaca lebih didorong karena alasan melaksanakan tugas dan memperoleh pengetahuan. Sedangkan yang melakukan aktivitas membaca demi alasan mencari ilmu pengetahuan, hobi, serta mengisi waktu luang belum banyak terjadi. Apabila sebuah aktivitas membaca sudah menjadi bagian dari perilaku budaya (berbudaya membaca) maka alasan untuk mencari ilmu, hobi, dan mengisi waktu luang tentu harus lebih dominan daripada demi alasan melaksanakan tugas atau alasan memperoleh ilmu pengetahuan. Kemanakah sebenarnya budaya membaca akan kita kembangkan? Bagaimanakah sebenarnya prototype masyarakat yang sudah berbudaya membaca? Apabila budaya membaca belum berkembang pada bangsa Indonesia. Tentu hal ini ada sebab-sebab atau faktor yang mempengaruhinya.
Pertama,
secara kultural, masyarakat Indonesia memang tidak memiliki tradisi
membaca sejak jaman nenek moyang. Sebagaimana bisa ditelusur melalui
literatur-literatur yang ada, perilaku membaca masyarakat Indonesia
hampir dapat dikatakan “tidak ada”. Hal ini bisa dibuktikan
dengan tiadanya artefak tulisan dalam jumlah yang banyak. Artefak
tulisan hanya bisa ditemukan pada prasasti-prasasti berbahan baku
batu atau tulisan kuna yang ditorehkan pada daun lontar, kulit
binatang, atau pada kulit kayu. Dengan bahan baku demikian maka
jumlahnya tidak bisa banyak (tidak massal). Situasi ini atau mungkin
juga karena sebab lain, pada hampir seluruh etnis di Indonesia ini
berkembang budaya lisan (folklore).
Betapa mudah budaya (bahkan sastra) lisan bisa ditemukan di segenap
penjuru tanah air. Segenap dongeng-dongen, mitos, fabel, puisi,
pantun, petatah-petitih, peribahasa, syair, dan cerita rakyat
dituturkan secara lisan, tanpa ada naskah tetulisnya. Bahkan ada satu
karya budaya bangsa Indonesia yang hampir sepenuhnya tidak boleh
dituliskan, tetapi hanya boleh dihafalkan ecara lisan, yaitu
mantra-mantra. Pada sebagian etnis masyarakat Indonesia, mantra-matra
untuk upacara agama, pengobatan, atau aktivitas budaya lainnya sangat
banyak jenisnya. Hampir semuanya diwariskan melalui transfer secara
lisan. Bahkan memang tidak boleh ditulis, termasuk direkam
menggunakan tape recorder atau audio-vidio recorder. Dengan situasi
budaya lisan ini maka mengembangkan budaya baca membutuhkan strategi
yang khusus.
Kedua, berkembangnya
budaya dengar (audio) dan video melalui teknologi informasi pada abad
19. Dengan hadirnya era teknologi informasi, masyarakat Indonesia
yang baru belajar membaca, telah teralihkan perhatiannya kepada
perilaku budaya pandang dan dengar, yaitu melalui media televisi
dengan berbagai variannya. Dibanding aktivitas membaca, aktivitas
mendengar (radio), dan aktivitas mendengar dan melihat
(televisi, film, VCD dengan berbagai variannya) memang jauh lebih
menarik dan lebih ringan dalam pengeluaran energi. Siuasi budaya
dengan dan lihat ini telah lebih menjauhkan masyarakat Indonesia
untuk berperilaku membaca. Membaca memutuhkan waktu yang khusus,
membutuhkan kesipan indera secara khusus secara terkonsentrasi, dan
membutuhkan prasyarat kemampuan yang relatif rumit (yaitu kemampuan
keaksaraan, kebahasaan, tata bahasa, dan pemaknaan). Kecenderungan
masyarakat saat ini lebih suka menonton TV atau VCD/DVD jika
dibandingkan dengan membaca buku karena hal itu tidak terlepas dengan
gencarnya siaran TV swasta dan TVRI yang menayangkan tontonan yang
lebih menarik, ringan, dan menikmatkan pemirsanya. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa tayangan televisi dapat mempengaruhi
terhadap rendahnya minat baca. Menonton TV akan lebih santai
karena dapat mengerjakan hal-hal yang ringan sambil menikmati sajian
TV. Siaran TV dan VCD lebih menawarkan berbagai tayangan yang
variatif, mulai dari hiburan, berita ringan, gosip, hal-hal yang
irasionil, sampai berita yang dapat dilihat secara live.
Sedangkan membaca buku lebih cenderung konsentrasi dan tidak dapat
dilakukan sambil mengerjakan sesuatu yang lain.Membaca buku harus
lebih tenang, sabar, dan bahkan dibaca secara perlahan dan
berulang-ulang. Energi yang dibutuhkan untuk membaca lebih besar
dibandingkan menonton TV atau VCD. Hampir semua orang sependapat
bahwa nonton TV atau VCD lebih enak dibandingkan membaca. Alasannya
sederhana, nonton TV atau VCD lebih mudah dan menarik. Itulah
sebabnya TV dan VCD berkembang jauh lebih pesat dibandingkan
perkembangan percetakan buku.Ketiga, tingkat
kemampuan membaca dan selera membaca yang buruk pada masyarakat.
Mudah untuk mengidentifikasi bahwa kemampuan membaca (dan menulis)
masyarakat Indonesia belum menggembirakan. Ilustrasi yang paling
atraktif adalah rendahnya kemampuan membaca dan menulis pra mahasiswa
di perguruan tinggi. Para dosen sering mengeluh bahwa dalam
membimbing penulisan skripsi, bahkan tesis; para dosen harus susah
payah pula membenahi tata bahasa, di mana berdasarkan logika
kemampuan tata bahasa ini seharusnya sudah selesai (sudah terkuasai)
ketika para mahasiswa itu menamatkan pendidikan dasar. Apabila dalam
menulis saja tidak mampu dikerjakan dengan baik, maka bisa diduga
kemampuan membaca mereka juga kurang memuaskan. Pada sisi lain, jenis
bacaan yang disukai masyarakat Indonesia juga kurang sesuai dengan
idealisme pewujudan budaya membaca. Jenis bacaan yang dikonsumsi
masayarakat, terutama kelas menengah ke bawah adalah komik (picisan),
berita kirminal (dari koran kuning), esay pornografi dan cerita
misteri (dari tabloid). Mungkin akan cukup sulit menemukan warga
masyarakat yang memiliki selera baca baik.
Keempat, seperti
diuraikan pada bagian di atas, bahwa daya beli masyarakat kita masih
rendah, hal itu disebabkan beban ekonomi masyarakat semakin tinggi,
sehingga untuk membelanjakan uangnya untuk membeli buku kiranya akan
sangat sulit dan penuh pertimbangan. Kerena krisis ekonomi tersebut
maka sebagian sumberdaya ekonomi (keuangan) yang ada diprioritaskan
untuk membiayai pos utama, sedangkan alokasi untuk mendapatkan bahan
bacaan yang bermutu tidak menjadi prioritas.
Kelima, masyarakat
belum bisa melihat, merasakan, atau menikmati keuntungan (benefit)
yang bisa didapat dari kegemaran membaca. Belum ada contohnya bahwa
orang yang gemar membaca hidupnya akan makmur. Masyarakat masih
memandang kegemaran membaca belum memberikan keuntungan ekonomis,
sehingga belum menimbulkan minat membaca.
PLS, SDM, dan
Pemasyarakatan Budaya Baca
Dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, tercantum butir
kalimat mencerdaskan
kehidupan bangsa,
makna dari kalimat tersebut sangat erat kaitanya dengan pendidikan.
Pendidikan menjadi instrumen untuk mewujudkan masyarakat dan bangsa
yang cerdas, pendidikanlah yang harus dirancang dan diimplementasikan
secara baik. Salah satu faktor untuk mewujudkan kecerdasan bangsa dan
pendidikan yang maju adalah terciptanya budaya baca di masyarakat.
Dengan adanya pendidikan yang maju dan budaya baca yang telah
mengakar pada masyarakat maka akan muncul masyarakat dan bangsa yang
cerdas dalam kihidupannya. Oleh karena itu diperlukan
instrumen-instrumen legal aspek yang melandasi terwujudnya cita-cita
tersebut.
Undang-Undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 13, memuat
jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Ketiga jalur
pendidikan tersebut satu kesatuan sub sistem untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional. Lebih khusus lagi pada pasal 26, ayat 2
dinyatakan bahwa “pendidikan non formal berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan
dan keterampilan fungsional,” ini berbarti bahwa pendidikan non
formal mendapatkan keleluasan untuk mengembangkan SDM masyarakat dan
memasyarakatkan budaya baca dalam memperkuat dan meningkatkan
kualitas pengetahuan dan keterampilan yang berguna untuk kehidupan
masyarakat. Sedangkan ayat 3 menyatakan, bahwa “pendidikan non
formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.” Jenis pendidikan non formal
yang dikembangkan dan dilaksanakan begitu luas dan beragam, ini
memungkinkan masyarakat mengakses program pendidikan non formal
sesuai dengan kebutuhan aktual dan potensi yang dimiliki oleh
masing-masing warga belajar, termasuk juga dalam memasyarakatkan
budaya baca lewat program pendirian Taman Bacaan Masyarakat
(TBM). Masing-masing jenis program dikembangkan sesuai dengan
tuntutan permintaan masyarakat. Program-program tersebut dikuatkan
lagi dengan wadah lembaga pendidikan non formal seperti dinyatakan
pada ayat 4, yaitu bahwa “satuan pendidikan non formal
terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan
pendidikan yang sejenis.” Agar kegiatan kursus dan pelatihan mampu
membekali masyarakat agar berkaulitas dan dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maka hal itu diperkuat lagi
pada ayat 5, yang menyatakan bahwa “kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan,
keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri,
mengembangkan profesi, bekerja, dan usaha mandiri, dan atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.” Khusus satuan
pendidikan non formal, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM),
didesain sebagai tempat belajar yang lebih fleksibel. Tidak terlalu
ketat waktu terhadap pelaksanaan pembelajaran. PKBM didirikan
oleh masyarakat dan langsung dimanfaatkan oleh masyarakat. Fungsi
PKBM selain sebagai pusat tempat pembelajaran, juga sebagai wadah
berdirinya TBM. Integrasi tempat tersebut diharapkan mampu membangun
kesadaran masyarakat untuk membudayakan membaca.
Di samping pasal 26,
maka pada bagian ketujuh pasal 28 Undang-Undang No. 20 tahun 2003,
menguraikan mengenai Pendidikan Anak Usia Dini, bahwa (1) Pendidikan
Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2)
Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur
pendidikan formal, non formal, dan atau informal, dan (3) Pendidikan
Anak Usia Dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk Kelompok
Bermain (KB) Taman Penitipan Anak (TPA) atau bentuk lain yang
sederajat. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan non formal menawarkan
kesempatan yang sebaik mungkin kepada semua usia untuk dapat
dikembangkan dan difasilitasi peningkatan potensinya. Oleh karena itu
pendidikan non formal yang termasuk di dalamnya pendidikan
kepemudaan berperan dalam memberikan pelayanan pendidikan dalam
rangka pembangunan bangsa dan melakukan pendidikan bagi warga
masyarakat sebagai investasi sumber daya manusia pada pembangunan
nasional di masa yang akan datang. Pendidikan non formal dalam
usahanya memberi pelayanan kepada masyarakat melaksanakan program
peningkatan SDM dan memasyarakatkan budaya baca adalah dengan
program-program sebagai berikut:
1. Pendirian
Taman Bacaan Masyarakat (TBM)
Program TBM telah
dimulai sejak tahun 1992/1993. Pendirian TBM ini merupakan
pembaharuan dari Taman Pustaka Rakyat (TPR) yang didirikan oleh
Pendidikan Masyarakat pada tahun 1950-an. Program TBM mempunyai
secara umum mempunyai tujuan untuk membangkitkan dan meningkatkan
minat dan budaya baca masyarakat untuk membaca dan belajar sehingga
tercipta menyarakat belajar. Sedangkan secara khusus ditujukan untuk
memfasilitasi aksarawan baru pada program keaksaraan fungsional agar
kemampuan membaca mereka tetap dapat terjaga dan dapat ditingkatkan
sehingga tidak buta aksara kembali. Di samping itu TBM juga
dimaksudkan untuk memfasilitasi terciptanya suasana belajar di
masyarakat, sehingga muncul kesadaran kritis dalam mensikapi
perkembangan di lingkungannya. TBM dengan kata lain merupakan
perpustakaan kecil masyarakat, yang mempunyai koleksi buku relatif
sesuai dengan kebutuhan lingkungan masyarakat setempat, dengan
demikian TBM mempunyai buku-buku yang bersifat fungsional. TBM
mendapatkan dana bantuan pembelian buku dari pemerintah dan para
donotur yang peduli terhadap pendidikan dan pemasyarakatan budaya
membaca. Untuk menumbuhkan dan membangun minat baca masyarakat tidak
semudah membalikkan tangan, apalagi menciptakan budaya baca dan
belajar. Berbagai hambatan struktural seperti keterbatasan anggaran,
tenaga, sarana/prasarana, mekanisme kerja, luasnya sasaran yang harus
dilayani serta sikap mental petugas dan masyarakat sangat berpengaruh
terhadap kebijakan yang akan diambil. Sementara itu perubahan
eksternal yang terus berlanjut seperti perkembangan iptek dan
kebutuhan masyarakat yang semakin pesat turut mempersulit dalam
menentukan alternatif-alternatif pilihan yang dianggap paling tepat.
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) didirikan hingga pelosok desa,
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan peluang bagi warga
masyarakat desa untuk membangkitkan budaya baca dan belajar. Dengan
adanya budaya baca dan belajar diharapkan masyarakat dapat pula
meningkatkan wawasan dan pengetahuannya. Melalui sarana pembelajaran
yang tersedia diharapkan dapat mendukung prinsip pembelajaran di mana
saja, kapan saja dan kepada siapa saja. Namun ini semua hanya mungkin
terlaksana apabila ada upaya yang terus menerus untuk untuk
menciptakan lingkungan belajar (learning
einveronment)
dengan mengkondisikan dan mendorong masyarakat agar senantiasa
belajar dan gemar belajar. Upaya ini merupakan tanggungjawab kita
semua. Untuk menciptakan lingkungan belajar perlu dukungan dan
kerjasama semua pihak. Peran dari para politisi, akademisi/pakar,
pejabat, pengusaha, pemuka agama dan tokoh masyarakat, serta
masyarakat lainnya amatlah besar demi terciptanya kondisi gemar
belajar pada masyarakat. Dukungan dan motivasi itu misalnya adanya
peraturan“jam
belajar masyarakat” seperti
yang terjadi di daerah Yogyakarta dan Cirebon, dimana pada jam-jam
tertentu (jam 18.00-20.00) warga masyarakat dilarang keluar rumah
kecuali untuk kegiatan belajar. Apabila ada dukungan dari semua pihak
termasuk setiap keluarga tidaklah sulit untuk menciptakan gemar
membaca dan belajar di kalangan masyarakat. Bantuan untuk
mennumbuhkan TBM setiap tahunnya sangat menggembirakan, yaitu:
berkisar antara 700 TBM sampai dengan 900 TBM bahkan pada tahun 2005
direncanakan akan diberikan bantuan sebanyak 2000 TBM, besar bantuan
sekitar 4 juta rupiah.
Atas dasar pemikiran
di atas, maka diharapkan semua komponen yang ada di masyarakat
berperanserta dalam upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat, sehingga upaya membangun budaya baca dan belajar
masyarakat akan terwujud. Oleh karena itu segala upaya untuk
mendorong setiap orang agar gemar membaca dan tidak berhenti belajar,
harus terus menerus didukung dan digalakkan agar bangsa ini mampu
bersaing di era globalisasi ini. Optimalisasi segala sumber dan
potensi yang ada di lingkungan masyarakat. Sejauh mungkin
mengupayakan keterlibatan dari berbagai unsur dari mulai lembaga
keluarga, RT/RW, Desa/Kelurahan, perusahaan, lembaga/organisasi
sosial, dinas/instansi terkait, serta menggerakkan para tokoh
masyarakat. Memperluas jaringan informasi dan kerjasama dengan
berbagai instansi, organisasi, dunia usaha, LSM dan tokoh masyarakat
atas dasar saling memberi manfaat. Buku-buku yang tersedia di TBM
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu
disediakan buku-buku yang bervariasi sesuai dengan minat masyarakat.
Untuk memperoleh buku-buku yang bervariasi tersebut, maka dijalin
kerjasama dengan berbagai instansi/lembaga lain, khususnya dengan
penerbit. Untuk masa yang akan datang perlu menjalin kerjasama yang
lebih intensif dengan penerbit, perpustakaan, lembaga-lembaga
perbukuan dan para pecinta buku, perpustakaan dan kalayak umum, serta
para donotur yang ada di seluruh Indonesia, sehingga seluruh TBM
dapat memiliki buku-buku yang berkualitas dan bervariasi. Setiap Desa
atau PKBM diupayakan memiliki TBM. Koleksi buku yang ada di setiap
TBM/perpustakaan umum diusahakan selalu menarik, sehingga minat baca
masyarakat cenderung akan semakin tinggi dan minat untuk mengunjungi
serta memanfaatkan keberadaan TBM/perpustakaan umum juga tinggi.
Apabila masyarakat sering mengunjungi dan memanfaatkan keberadaannya,
maka diharapkan masyarakat gemar membaca dan belajar segera terwujud.
- Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat adalah adalah sebuah lembaga atau wadah menampung
kegiatan belajar masyarakatehingga keberadaannya merupakan salah satu
alternatif yang dapat dipilih atau dijadikan ajang pemberdayaan
masyarakat. Sejalan dengan pemikiran melembagakan PKBM, maka
potensi yang selama ini tidak tergali akan dapat digali, ditumbuhkan
dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Gagasan menggulirkan
PKBM ini timbul karena luasnya sasaran layanan, kompleksitas
permasalahan dan kendala yang dihadapi masyarakat. Hal ini
menyadarkan dan menyemangati pelaku pembangunan untuk melakukan
berbagai upaya pembelajaran masyarakat yang berpangkal pada
masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat, berada dalam lingkungan
masyarakat dan bermakna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Strategi ini digunakan agar dalam setiap penyelenggaraan program
pembelajaran masyarakat senantiasa dalam koridor pemberdayaan
masyarakat. Dalam perspektif itulah pelaksanaan strategi
mendinamisasi peran serta masyarakat untuk merencanakan,
melaksanakan, mengembangkan dan melembagakan kegiatan belajarnya yang
diaktualisasikan dengan pembentukan PKBM.
Prinsip utama
pembentukan PKBM adalah bertolak dari kebermaknaan, kebermanfaatan
dan keterlibatan warga belajar dalam perencanaan dan pelaksanaan
program belajar. PKBM tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk
masyarakat dan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator. PKBM
bukan milik pemerintah, tetapi miliki masyarakat yang dikelola oleh
masyarakat setempat dimana PKBM berada. Bagaimanapun, keberhasilan
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga,
pemerintah dan masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan secara tidak langsung akan meberikan ruang gerak yang lebih luas, sehingga masyarakat akan semakin dewasadan semakin mandiri dalam menentukan masa depannya. Dengan demikian pengembangan program-program yang ada di PKBM diarahkan pada pengembangan potensi masyarakat. Anggota masyarakat yang memiliki kelebihan, baik dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan membantu mereka yang masih ketinggalan pendidikannya, sehingga masyarakat mampu untuk mandiri, menopang kehidupan keluarga dan mendukung pembangunan masyarakatnya. Dengan kata lain, apabila potensi yang ada di masyarakat dapat berkembang secara optimal, maka keberadaan PKBM akan selalu mendapat tempat dan dukungan dari masyarakat yang mengarah pada suatu tujuan, yaitu terciptanya masyarakat yang gemar belajar, kreatif, dinamis, mandiri, memiliki daya saing serta sanggup menghadapi segala tantangan ke depan.
Dewasa ini tercatat sekitar 1.500 PKBM tersebar di seluruh Indonesia. Dukungan pemerintah dalam upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan PKBM antara lain berupa: (1) peningkatan kemampuan tenaga pengelola PKBM melalui kegiatan pelatihan, (2) pemberian subsidi kepada PKBM. Dengan dana subsidi diharapkan PKBM mampu mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang terus meningkat dan beragam.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan secara tidak langsung akan meberikan ruang gerak yang lebih luas, sehingga masyarakat akan semakin dewasadan semakin mandiri dalam menentukan masa depannya. Dengan demikian pengembangan program-program yang ada di PKBM diarahkan pada pengembangan potensi masyarakat. Anggota masyarakat yang memiliki kelebihan, baik dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan membantu mereka yang masih ketinggalan pendidikannya, sehingga masyarakat mampu untuk mandiri, menopang kehidupan keluarga dan mendukung pembangunan masyarakatnya. Dengan kata lain, apabila potensi yang ada di masyarakat dapat berkembang secara optimal, maka keberadaan PKBM akan selalu mendapat tempat dan dukungan dari masyarakat yang mengarah pada suatu tujuan, yaitu terciptanya masyarakat yang gemar belajar, kreatif, dinamis, mandiri, memiliki daya saing serta sanggup menghadapi segala tantangan ke depan.
Dewasa ini tercatat sekitar 1.500 PKBM tersebar di seluruh Indonesia. Dukungan pemerintah dalam upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan PKBM antara lain berupa: (1) peningkatan kemampuan tenaga pengelola PKBM melalui kegiatan pelatihan, (2) pemberian subsidi kepada PKBM. Dengan dana subsidi diharapkan PKBM mampu mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang terus meningkat dan beragam.
- Pemberantasan Buta Aksara
Program ini sangat
strategis bila dikaitkan dengan pemasyarakatan budaya membaca.
Program ini merupakan prioritas utama PNF (PLS), karena buta aksara
erat kaitannya dengan kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan,
ketidakberdayaan. Di samping itu buta aksara merupakan salah satu
indikator dalam penentuan tinggi rendahnya Indek Pembangunan Manusia
(IPM) serta penghambat suksesnya Wajar 9 tahun karena berdasarkan
berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila orang tua anak
menyandang buta aksara, maka anaknya cenderung tidak sekolah dan
kalaupun sekolah potensi untuk mengulang kelas dan putus sekolah pada
kelas-kelas awal SD besar kemungkinan terjadi. Masih banyaknya
penduduk buta aksara, disebabkan karena: (1) terus terjadinya siswa
Sekolah Dasar pada kelas 1,2, dan 3 rata-rata 200.000 – 300.000 per
tahun yang disinyalir berpotensi menjadi buta aksara baru; (2)
anak-anak yang tidak sekolah sejak awal karena masalah geografis dan
ekonomi; (3) terjadinya buta aksara karena kurangnya intensifikasi
terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan keaksaraan mereka. Dengan
melihat permasalahan di atas, sejak tahun 2003 sasaran pemberantasan
diprioritas usia 15-44 tahun, dengan harapan akan mampu membendung
masukan buta aksara baru. Untuk menjamin agar warga belajar yang
dikenai sasaran tidak putus belajar dan atau terjadi kelangsungan
program pembelajaran dengan hasil yang bermutu, maka mulai pada tahun
2003 juga diadakan reposisi dalam penyelenggaraan program
pemberantasan buta aksara. Reposisi tersebut terdiri dari: (1)
Fleksibilitas dalam pembentukan kelompok belajar, maksimal tiap
kelompok diikuti 10 orang dengan dibantu oleh seorang tutor yang
mengajarkan baca, tulis dan hitung serta pengetahuan dasar. Seorang
tutor lagi memfasilitasi dalam pembelajaran keterampilan, (2) satuan
biaya ditingkatkan seperti biaya penyelenggaraan, honorarium tutor
dan dana belajar keterampilan. Dalam proses pembelajaranpun digunakan
metode keaksaraan fungsional (KF), proses pembelajaran dari
disesuaikan dengan latar belakang kehidupan dan kebutuhannya.
4. Pendidikan
Kesetaraan
a.
Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP
1) Program
ini diprioritaskan pada anak usia 7-15 tahun atau lebih tua 2-3 tahun
yang tidak sekolah, putus SD, lulus SD tidak melanjutkan ke SLTP dan
putus SLTP dalam rangka menunjang Wajar Dikdas 9 tahun. Kenyataan
menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni SD (94,5%) dan SLTP (55,7%)
sehingga melalui Paket A dan Paket B akan memberikan kontribusi
terhadap suksesnya Wajar 9 tahun.
2) Untuk
menjamin mutu hasil program, diupayakan pemenuhan kebutuhan dalam
penyelenggaraan program belajar mengajar, seperti: (1) honorarium
tutor ditingkatkan; (2) rasio bahan belajar atau modul untuk tiap
warga belajar, satu orang satu set, (3) dalam penyelenggaraan program
belajar diberikan pula latihan keterampilan sesuai dengan pilihan
warga belajar, diutamakan untuk kelas terakhir (Paket A kelas V dan
Paket B kelas 2), (4) uji kualitas diselenggarakan melalui ujian
akhir nasional (Pehabtanas) dua kali dalam satu tahun yaitu pada
bulan Mei dan Oktober, (5) Kelompok belajar yang semula rata-rata
jumlah warga belajar 30-40 orang tiap kelompok, dikurangi menjadi
rata-rata 20 orang tiap kelompok (2003). Dengan berbagai penyesuaian
di atas, diharapkan tercapainya standar mutu lulusan Paket A dan
Paket B, sehingga apabila ada yang ingin melanjutkan pendidikannya ke
jenjang yang lebih tinggi tidak akan mengalami kesulitan
b.
Paket C
Program
ini baru merupakan ujicoba akibat banyaknya animo masyarakat yang
ingin memiliki pendidikan setara SMU. Pemerintah telah menyediakan
dukungan antara lain berupa; (1) peningkatan mutu tenaga pengajar
(tutor) melalui kegiatan pelatihan, (2) penyediaan modul, (3)
pemberian subsidi biaya Unjian Nasional bagi warga belajar yang
benar-benar berasal dari keluarga miskin.
5. Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD)
Masa dini usia
merupakan periode kritis dalam perkembangan anak. Berdasarkan kajian
neurology, pada saat bayi dilahirkan otaknya mengandung sekitar 100
milyar neuron yang siap melakukan sambungan antar sel. Selama
tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang sangat pesat dengan
menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron yang
banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan ini harus diperkuat melalui
berbagai rangsangan psikososial, karena sambungan yang tidak
diperkuat akan mengalami penyusutan dan akhirnya tidak berfungsi.
Inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Dalam kajian lain diungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak
terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar
50% kapasitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak
berusia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan
mencapai 100% ketika anak berusia 18 tahun. Hal ini berarti bahwa
perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama
besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun
berikutnya, dan selanjutnya perkembangan anak akan mengalami
stagnasi.
Kualitas anak dini usia di samping dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, dan psiko-sosial yang diperoleh dari lingkungannya. Oleh karena itu kita harus mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dapat diperbaiki. Dan yang lebih penting lagi adalah agar anak memperoleh rangsangan-rangsangan intelektual, sosial dan emosional sesuai dengan tingkat usianya. Apabila program PAUD ini diperluas dalam arti semua anak usia dini memperoleh pelayanan tumbuh kembang dan pendidikan yang bermutu (kesehatan, gizi, dan psikososial) maka akan sangat mendukung suksesnya Wajar Dikdas 9 tahun, karena adanya kesiapan anak masuk sekolah akan menekan terjadinya mengulang kelas dan anak putus sekolah pada kelas-kelas awal Sekolah Dasar. Karenanya, program ini akan diperluas dan ditingkatkan mutu pelayannya melalui dukungan terhadap penyelenggara program penitipan anak, kelompok bermain dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis. Di samping itu kegiatan penguatan program dilakukan melalui pengembangan model, konsolidasi data sasaran program, sosialisasi program, imbal swadaya penyelenggaraan program PAUD, bagi lembaga yang menjangkau keluarga miskin, penguatan kelembagaan melalui pemberian dana bantuan kelembagaan, pengadaan bahan belajar, pelatihan ketenagaan, pemberian bantuan teknis, serta pemantauan dan pengendalian program. Sesuai dengan dinamika masyarakat, dan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan program PAUD di lapangan dengan sektor terkait, maka penanganan program PAUD melalui jalur pendidikan non formal difokuskan pada aspek pendidikannya, khususnya pada satuan PAUD non TK/RA dan pada pusat-pusat pelayanan anak usia 0-6 tahun lainnya seperti Posyandu dan Bina Keluarga Balita. Sedangkan aspek gizi, kesehatan dan kesejahteraan sosialnya diharapkan difasilitasi oleh sektor yang berkaitan.
Kualitas anak dini usia di samping dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, dan psiko-sosial yang diperoleh dari lingkungannya. Oleh karena itu kita harus mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dapat diperbaiki. Dan yang lebih penting lagi adalah agar anak memperoleh rangsangan-rangsangan intelektual, sosial dan emosional sesuai dengan tingkat usianya. Apabila program PAUD ini diperluas dalam arti semua anak usia dini memperoleh pelayanan tumbuh kembang dan pendidikan yang bermutu (kesehatan, gizi, dan psikososial) maka akan sangat mendukung suksesnya Wajar Dikdas 9 tahun, karena adanya kesiapan anak masuk sekolah akan menekan terjadinya mengulang kelas dan anak putus sekolah pada kelas-kelas awal Sekolah Dasar. Karenanya, program ini akan diperluas dan ditingkatkan mutu pelayannya melalui dukungan terhadap penyelenggara program penitipan anak, kelompok bermain dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis. Di samping itu kegiatan penguatan program dilakukan melalui pengembangan model, konsolidasi data sasaran program, sosialisasi program, imbal swadaya penyelenggaraan program PAUD, bagi lembaga yang menjangkau keluarga miskin, penguatan kelembagaan melalui pemberian dana bantuan kelembagaan, pengadaan bahan belajar, pelatihan ketenagaan, pemberian bantuan teknis, serta pemantauan dan pengendalian program. Sesuai dengan dinamika masyarakat, dan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan program PAUD di lapangan dengan sektor terkait, maka penanganan program PAUD melalui jalur pendidikan non formal difokuskan pada aspek pendidikannya, khususnya pada satuan PAUD non TK/RA dan pada pusat-pusat pelayanan anak usia 0-6 tahun lainnya seperti Posyandu dan Bina Keluarga Balita. Sedangkan aspek gizi, kesehatan dan kesejahteraan sosialnya diharapkan difasilitasi oleh sektor yang berkaitan.
6.
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life
Skills)
a. Pendekatan
Program
pendidikan kecakapan hidup (life
skills)
melalui jalur pendidikan non formal dilakukan melalui
pendekatan Broad
Based Education (BBE)
yang ditandai: (1) kemampuan membaca dan menulis secara fungsional,
dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing (Inggris, Arab,
Mandarin dan sebagainya), (2) kemampuan merumuskan dan memecahkan
masalah yang diproses lewat pembelajaran berfikir ilmiah, penelitian
(explorative),
penemuan (discovery)
dan penciptaan (inventory),
(3) kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi guna
mendukung kedua kemampuan tersebut di atas, (4) kemampuan
memanfaatkan ber-aneka ragam teknologi di berbagai lapangan
kehidupan (pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan,
kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi-informasi, manufaktur dan
industri, perdagangan, keseni-an, pertunjukkan dan olahraga), (5)
kemampuan mengelola sumber-daya alam, social, budaya dan lingkungan,
(6) kemampuan bekerja dalam tim, baik dalam sector informal maupun
formal, (7) kemampuan memahami diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya, (8) kemampuan untuk terus-menerus menjadi manusia
belajar, (9) kemampuan mengintegrasikan pendidikan dan pembelajaran
dengan etika sosio-relegius bangsa berlandaskan nilai-nilai
Pancasila.
b. Pengertian
Kecakapan Hidup (life
skills)
Konsep
kecakapan hidup mempunyai cakupan yang luas, berinteraksi antara
pengetahuan dan keterampilan dan yang diyakini sebagai unsure penting
untuk hidup lebih mandiri (Broling, 1989).
c.
Lingkup dan Prinsip Pendidikan Kecakapan Hidup
Kecakapan
hidup meliputi kecakapan hidup untuk mengatur kebutuhan diri (daily
living skills),
memahami potensi diri dan dalam pergaulan sosial/lingkungan
(personal/social
skills),
kecakapan hidup dalam pemilih keterampilan dan mengatur pekerjaan
(vocasional/occupatio-nal)
dengan prinsip belajar untuk memperoleh pengetahuan (learning
to know),
belajar untuk dapat berbuat atau bekerja sesuai dengan potensi diri
(learning
to do)
dan belajar untuk menjadi orang yang berguna (learning
to be)
serta belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain (learning
to live together).
1) Daily
living skills,
antara lain meliputi: Pengelolaan kebutuhan pribadi, pengelolaan
keuangan pribadi, pengelolaan rumah pribadi, kesadaran kesehatan,
kesadaran keamanan, pengelolaan maka-nan gizi, pengelolaan pakaian,
tanggung jawab sebagai pribadi warga Negara, pengeloaan waktu luang,
rekreasi, kesadaran lingkungan.
2) Personal dan social
skills
Personal
skills,
pemahaman potensi diri yang dimiliki, percaya diri, komunikasi dengan
orang lain, kemandirian, dan kepemimpinan.
3) Vocasional/Occupational
skills
Memilih
pekerjaan, perencanaan kerja, kemampuan untuk me-nguasai berbagai
keterampilan, persiapan keterampilan kerja, latihan keterampilan,
penguasaan kompetensi menjalankan suatu profesi, kemampuan menguasai,
menerapkan teknologi, meran-cang dan melaksanakan proses pekerjaan,
menghasilkan produk barang dan jasa.
d. Lembaga
Penyelenggara
Dalam
penyelenggara program pendidikan life
skills di
bidang pendidikan non formal dilaksanakan melalui kerjasama dengan
(1) Pusat-pusat Kegiatan Belajar masyarakat (PKBM), (2) lembaga
kursus PNF yang diselenggarakan oleh masyarakat, (3) lembaga
pengem-bangan/pelatihan terpadu masyarakat, (4) lembaga perempuan,
(5) lembaga kepemudaan, (6) Organisasi Kemasyarakatan Pemuda, (7)
Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP), (8) Lembaga Kepemuda-an, (9)
Sanggar Kegiatan Belajar, (10) Balai Pengembangan Kegiatan Belajar,
(11) Perguruan Tinggi.
e. Peserta
Didik (Warga Belajar)
Kriteria
peserta didik (warga belajar) adalah: (1) usia 16-35 tahun
(prioritas), (2) tidak sekolah dan tidak/belum bekerja, (3) berasal
dari keluarga miskin, (4) lulus seleksi yang diselenggarakan oleh
lembaga penyelenggara program.
f. Lama
Pendidikan dan Hasil yang diharapkan
- Tergantung dari jenis kecakapan hidup yang diselenggarakan (3 sampai dengan 6 bulan)
- Hasil yang diharapkan, warga belajar dapat: (1) berusaha mandiri dan diberi dana belajar dari lembaga penyelenggara, (2) bekerja pada perusahaan terkait dengan penghasilan yang layak.
g. Pola
Pendanaan
Block
grant, yaitu: pendanaan langsung kepada lembaga penyeleng-gara
setelah proposal dinilai layak oleh suatu tim penilai yang melibatkan
berbagai pihak-pihak yang terkait.
7.
Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan ini
diarahkan pada pendidikan dan pelatihan berusaha (Kejar Usaha)
utamanya bagi warga belajar yang telah bebas buta aksara dan lulus
Paket B namun tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Melalui program Kejar Usaha, warga belajar diberikan
pelatihan praktis tentang bagaimana mengelola suatu usaha sebagai
modal untuk mengembangkan usahanya. Di samping kejar usaha,
disediakan pula beasiswa khusus bagi warga belajar Paket B yang telah
tamat, agar mereka dapat belajar keterampilan di lembaga-lembaga
kursus sesuai dengan pilihannya dan atau magang di berbagai tempat
pemagangan. Harapannya setelah selesai belajar mereka dapat bekerja
mandiri dan atau bekerja pada suatu perusahaan yang terkait.
8. Program
Pendidikan Perempuan
Program ini
diarahkan pada upaya menghilangkan kesenjangan dan meningkatkan
kesetaraan pendidikan antara lain melalui kajian berbagai produk yang
bias gender baik yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan,
buku pelajaran dan partisipasi perempuan pada jalur, jenis dan
jenjang pendidikan yang dilaksanakan secara koordinatif dengan
berbagai instansi terkait dan organisasi sosial yang berorientasi
kepada perempuan. Sehingga terbentuklah forum gender yang anggotanya
terdiri dari unsur birokrasi, akademisi dari perguruan tinggi
dan lembaga penelitian dan pengembangan, praktisi dan pemerhati.
Untuk itu, tahun 2003 program ini akan ditindaklanjuti melalui
sosialisasi dan promosi tentang pentingnya pengarusutamaan gender
yang menjangkau seluruh propinsi serta kajian akademik dan
operasionalisasi program (advokasi, fasilitasi, serta rencana aksi).
9.
Pembinaan Kursus
Pendidikan Non
Formal yang diselenggarakan oleh masyarakat melalui kursus-kursus
atau lembaga pendidikan keterampilan dalam tumbuh kembangnya sangat
dipengaruhi oleh situasi pasar. Karenanya, peran pemerintah dalam
pembinaan kursus diprioritaskan pada pemberian perizinan yang dalam
era otonomi daerah telah dilimpahkan kewenangan pelayanannya kepada
pemerintah Kabupaten/Kota. Selain itu dikembang-kan juga standarisasi
penyelenggaraan kursus dan uji kualitas yang dilaksanakan melalui
ujian nasional. Dewasa ini tercatat sekitar 22.510 lembaga kursus
tersebar di seluruh Indonesia, yang meliputi 131 jenis keterampilan.
Lembaga kursus merupakan mitra dalam pengem-bangan Pendidikan Non
Formal yakni diperankan dalam penyusunan kurikulum dan standarisasi
kursus melalui 30 Sub Konsorsium yang telah terbentuk. Di samping
itu, dalam pengembangan program pendidikan life
skills secara
bertahap dan selektif dipilih beberapa lembaga kursus sebagai
penyelenggara program.
Penutup
Perlu
digarisbawahi dari apa yang saya kemukakan di atas, bahwa upaya
sungguh-sungguh kita untuk meningkatkan SDM dan memasyarakatkan
budaya membaca ditentukan oleh semua komponen bangsa baik pemerintah,
penyelenggara dan pengelola pendidikan, pemerhati pendidikan,
lembaga-lembaga pendidikan, para penerbit, penggiat perbukuan dan
masyarakat luas yang menjadikan pendidikan dan budaya membaca sebagai
kekuatan Human
investment dan social capital.
Baik untuk kepentingan pembangunan SDM secara umum maupun untuk
menciptakan masyarakat belajar. Jikalau semua komponen tersebut di
atas dapat menjembatani terwujudnya sinergi kerjsama, maka isya-Allah
cita-cita masyarakat belajar dapat terwujud.
Tolong diberi pembatas pada tampilan awal agar di baca selanjutnya--
BalasHapuskemudian jangan lupa daftar pustaka, agar lebih ilmiah, buku, sumber data, kutipan, artikel sampai laman web yang kamu pakai.. sehingga bisa dipertanggung jawabkan.. itu etika menulis.. ok... untuk materi sudah bagus...
trimakasih pak... apakah perlu ada perbaikan untuk penambahan sumber dsb? oiya pak.. di bawah posting ini, masi ada beberapa inovasi hehehe
BalasHapus