Minggu, 01 Desember 2013

Peran Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan SDM dan Pemasyarakatan Budaya Baca

Pembangunan dalam era global saat ini penuh dengan persaingan yang semakin ketat dan tajam. Oleh karena itu  hanya dengan  sumber daya manu-sia (SDM) yang berkualitas dan mempunyai daya saing yang unggul maka lembaga tersebut akan muncul sebagai pemenang dalam kompetisi.  Pem-bangunan saat ini bergerak dengan begitu cepat. Hal itu ditandai dengan adanya perubahan yang mendasar dalam bidang ilmu pengetahuan. Saat ini telah terjadi revolusi teknologi informasi (information technology revolution). Revolusi teknologi informasi tersebut telah memunculkan fenomena baru tentang dunia tanpa batas dalam pergaulan dunia internasional. Hubungan negara-bangsa (nation-state) mulai berubah tanpa ada sekat-sekat. Salah satu bentuk nyata dari teknologi informasi yang sangat berpengaruh tersebut adalah teknologi komunikasi (telepon selular, faxsimile, internet). Teknologi telekomunikasi dan informasi tersebut ternyata mampu mempengaruhi ideologi, konsep, kebijakan, sikap, perilaku, dan mindsetindividu, kelompok, maupun perilaku birokrat dalam setiap pergaulan internasional berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena teknologi informasi tersebut  dapat diakses dan mampu menghubungkan setiap orang di dunia ini dari belahan manapun tanpa ada sedikitpun batas dan sensor yang menghalanginya. Masyarakat dunia dapat berkomunikasi secara langsung dalam bentuk apa saja, dimana saja, dan kapan saja, sehingga waktu tidak menjadi halangan dan alasan untuk saling berkomunikasi.


Di samping itu pembangunan saat ini mengalami proses transformasi sosial politik dan ekonomi yang sangat cepat, oleh karena itu membawa konsekuensi terhadap dunia pendidikan kita. Perubahan inilah yang membawa implikasi terhadap perubahan semua aspek kehidupan, baik di bidang politik, budaya, ekonomi, bisnis, pertahanan dan keamanan, isu-isu demokratisasi, hak asasi manusia, isugovernment transparency dan isu desentralisasi.  Perubahan dunia yang begitu cepat (rapid changes) tersebut juga memaksa para pemimpin bangsa dari setiap negara-bangsa untuk mengkaji ulang konsep, kebijakan, bentuk kerjasama, maupun arah  visi  dan  misi  dari  setiap  lembaga.  Negara  tidak  dapat  dan mampu mengisolir diri dari setiap perubahan dunia. Implikasi penting lain yang tentunya dapat dilihat adalah terjadinya perubahan perencanaan pembangunan secara nasional. Para perancang pembangunan saat ini ditekan untuk mengubah mindset mereka dari paradigma lama (old paradigms) kearah paradigma baru (new paradigms), yaitu: dari based on ecocentric model ke arah based on homocentric model. Paradigma dimaksud sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Khun, sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexcity of the real world,” atau dengan kata lain dapat diartikan bahwa paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang digunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi tersebut dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi terhadap makna perubahan realitas sosial yang ada. Perubahan paradigma pembangunan tersebut dapat digambarkan dalam tabel seperti di bawah ini:

Aspek Pembangunan Paradigma Lama Paradigma Baru
Tujuan Pembangunan Menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan titik fokus pada strategi pembangunan “trickle down effects Menekankan pada pertum buhan ekonomi, pemerataan dan berkelanjutan dengan titik fokus pada strategi pe mbangunan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan
Fokus Pembangunan Pembangunan sumber daya alam Pembangunan sumber daya manusia
Strategi Pembangunan Mengarah pada eksploitasi Mengarahpada pengembang an
Strategi Investasi Menekankan pada tanah, buruh, dan modal Menekankan pada ilmu pengetahuan dan informasi
Perspektif Pembangunan Nasional-sentralistik-birokratik Global villages dan desentralistik-debirokratik
Pembangunan SDM Orientasi pada otot Orientasi mind
Pendidikan Orientasi bukan ijasah sekolah Pendidikan sepanjang hayat standard kompetensi

Dari perubahan paradigma pembangunan tersebut maka lahirlah berbagai perencanaan kebijakan pembangunan yang strategis, praktis, tematis, dan mengarah para orientasi kebijakan desentralisasi. Tentunya tidak terkecuali terhadap kebijakan pembangunan pendidikan. Kebijakan tersebut juga dikenal dengan kebijakan otonomi pendidikan dengan isu sentral schools and community base management untuk pendidikan formal dan learning centers base management untuk pendidikan non formal. Dengan demikian hanya negara yang memiliki keunggulan dalam pengembangan sumber daya manusia maka negara tersebut akan berperan menentukan perkembangan dunia.

Pentingnya Pendidikan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia  
Sejalan dengan perkembangan pembangunan tersebut di atas dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada tiga tantangan besar. Pertama, sebagai dampak krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai.Kedua, untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, dalam kaitannya dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap berbagai kebijakan pendidikan sehingga dapat mewujudkan proses transformasi pendidikan yang lebih demokratis, mengadopsi ide-ide keberagaman budaya, kebutuhan/keadaan daerah, heterogenitas peserta didik dan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Permasalahan lain pendidikan yang mengemuka saat ini adalah (1) masih rendahnya  pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis, yaitu antara perkotaan dan pedesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antar tingkat pendapatan penduduk ataupun antargender.  Disamping itu ada masalah-masalah lain yang masih ada kaitannya dengan pendidikan yang semakin menonjol pada akhir-akhir ini adalah pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan ternyata banyak menimbulkan kesulitan baru, dimana muncul gejala ketidakharmonisan dan ketidakterpaduan pelaksanaan program antar pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. Tenaga kependidikan di tingkat Kabupaten/Kota belum siap menerima otonomi pendidikan, apalagi otonomi kelas dan otonomi pusat pembelajaran, masih ada perbedaan visi, misi dan strategi yang cukup mendasar dalam pelayanan pendidikan, sulitnya melakukan koordinasi antar pusat dengan daerah atau antar daerah akibat terbatasnya kewenangan pusat dan luasnya jangkauan wilayah layanan departemen, dan sulitnya melakukan kontrol kualitas secara langsung. Oleh karena itu menjadi penting kebijakan peningkatan sumber daya manusia. Kunci utama terciptanya kualitas dan pemerataan pembangunan pendidikan adalah pengembangan manajemen kelembagaan yang strategis dan terpadu serta pengembangan tenaga kependidikan. Apabila dibandingkan dengan 12 negara Asia lainnya, kualitas pendidikan Indonesia masih berada pada posisi 12. Posisi tersebut satu tingkat lebih rendah dengan negara Vietnam. Hal ini digambarkan oleh hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang mengkaji mutu pendidikan dan kualitas tenaga kerja. Ada beberapa variabel yang digunakan untuk menilai hal tersebut, yaitu: (1) Kinerja keseluruhan tentang sistem pendidikan di satu negara; (2) Penduduk yang memiliki pendidikan dasar; (3) Penduduk yang memiliki pendidikan menengah; (4) Penduduk yang memiliki pendidikan tinggi dan Pascasarjana; (5) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif; (6) Ketersediaan tenaga kerja produktif berkualitas tinggi; (7) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga teknis; (8) Ketersediaan tenaga teknis; (9) Jumlah biaya untuk mendidik staf manajemen; (10) Ketersedian staf manajemen; (11) Tingkat keterampilan tenaga kerja; (12) Semangat kerja (work ethic) tenaga kerja; (13) Kemampuan berbahasa Inggris; (14) Kemampuan bahasa Asing selain bahasa Inggris; (15) Kemampuan penggunaan teknologi tinggi; (16) Tingkat keaktifan tenaga kerja (labour activism); (17) Frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja yang pensiun (labour turn over). Hasil analisis dari variabel di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Di samping kajian yang dilakukan oleh PERC di atas, menurut UNDP, Indek Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia berada pada urutan 111 dari 175 negara (UNDP, 2004).  Posisi tersebut tidak terlepas dari berbagai masalah indikator pendidikan, seperti APM (Angka Partisipasi Murni) usia 0-24 tahun berjumlah 46.929.690 (44,96%) dari jumlah 104.376.163 dan jumlah sasaran pendidikan yang tidak terlayani adalah 55,04% dari jumlah tersebut.  Tabel di bawah ini  menjelaskan secara lengkap tentang sasaran dan capaian dalam pendidikan saat ini.
Sedangkan angka mengulang kelas SD dan SLTP tahun 2000/2001 adalah 5,90% dan 0,31%. NEM rata-rata SD masih rendah, masih berkisar antara 5,67 sampai dengan 6,17 dan NEM rata-rata SLTP berkisar antara 5,08 sampai dengan 6,04, NEM rata-rata SMU IPA berkisar antara 3,57 sampai dengan 6,48, dan NEM rata-rata SMU IPS 3,83 sampai dengan 5,89. Kualifikasi sekolah (SLTP) yang ”baik sekali” baru mencapai 0,07% dan yang berkualifikasi ”baik” 3,25% dari SLTP 21.135 yang ada (Dikdasmen, 2000/2001). Kondisi penduduk buta aksara saat ini, untuk usia 10 tahun ke atas adalah 15,5 juta, usia 15 tahun ke atas adalah 15,4 juta, 10-44 th adalah 4,1 juta, usia 15-44 th adalah 3,9 juta dan usia 45 tahun ke atas adalah 11,2 juta. Masih banyaknya angka buta aksara tersebut dikarenakan (1) anak putus sekolah pada kelas 1, 2, dan 3  Sekolah Dasar  masih tinggi, yaitu: berkisar antara 200.000 sampai dengan  250.000 anak per tahun, (2) masih tingginya angka buta  aksara kembali, yaitu sekitar 4% yang mengalami reilliterate; (3) biasanya warga belajar yang mampu menyelesaikan pendidikan keaksaraan  tidak sesuai dengan standar kemampuan yang ditentukan; (4) warga belajar tidak menggunakan kemampuannya setelah selesai mengikuti program pendidikan keaksaraan, tidak mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari; (5) warga belajar yang berhasil menyelesaikan program hanya mampu berhasil membina kemampuan keaksaraan dasar seperti : membaca, menulis dan berhitung (basic literacy); (6) program pemberantasan buta aksara sering berjalan pasang surut; (7) anggaran pendidikan keaksaraan tidak termasuk anggaran dari pemerintah daerah, kalaupun ada persentasenya kecil, tapi ada juga daerah yang besar anggarannya; (8) jumlah Kabupaten/Kota yang mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keaksaraan masih sedikit, sebagai gambaran, dari 23 Kabupaten/Kota, hanya 6 daerah mengalokasikan anggaran, sedangkan 17 Kabupaten/Kota tidak mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keaksaraan (Dit. Dikmas, 2003); (9) Dari 23 Kabupaten/Kota yang ada Lembaga Koordinasi PBH hanya 2 dan  21 Kabupaten/kota tidak mempunyai Lembaga Koordinasi PBH; (10) pemberantasan buta aksara dilakukan  dan  dibebankan ke  Dinas pendidikan setempat. Bukan menjadi gerakan daerah yang langsung digerakkan oleh Bupati. Dari 23 Kabupaten/kota hanya 1 Kabupaten yang melaksanakan PBH secara baik, dengan menmbentuk satgas; (11) dari 23 Kab/kota yang mengeluarkan Perda untuk PBH tidak ada; (12) pelaksanaan PBH di kelompok belajar dengan anggota WB 5 – 10, lama belajar tidak tentu, sangat beragam. Pertemuan dalam kelompok belajar dilakukan seminggu 2 kali a 2 jam/45 menit pada sore hari, kurang intensif; (13) tidak jelas kapan orang dikatakan dapat melek huruf, belum ada alat ukur yang standar, diperkirakan rata-rata di atas 1 tahun; (14) rata-rata buta aksara di tiap Kabupaten/Kota adalah 8,02%; (15) organisasi PBH masih dilakukan oleh  perorangan, Yayasan, lembaga dan organisasi sosial, PKBM, dan SKB. Belum terkelola secara rapi menjadi gerakan yang sistematis; (16) rata-rata tiap Kabupaten/Kota hanya memberantas 489 orang, dengan komposisi 65 % perempuan, dan 35 % laki-laki, dari kelompok masyarakat sosial ekonomi rendah; (17) tutor pendidikan keaksaraan hampir semua tidak mempunyai buku pegangan, hanya menggunakan tema-tema tertentu, dengan metoda kata kunci; (18) bahan lain seperti kartu huruf alat permainan, poster dan lain-lain belum dikembangkan, yang ada hanya daftar kartu alphabet; (19) warga belajar hanya punya alat tulis dan buku tulis; (20) tingkat kehadiran warga belajar sekitar 40%- 60 %, dikarenakan warga belajar sibuk mencari nafkah, rata-rata berasal dari ekonomi rendah, dan belum paham arti dan manfaat pendidikan keaksaraan; (21) motivasi peserta pelatihan tutor pendidikan keaksaraan rendah; (22) organisasi pelaksanaan pendidikan keaksaraan tidak rapi di setiap daerah dan belum bersifat lintas sektoral dan di bawah satu komando dengan dipimpin oleh Bupati/Walikota; (23) pendidikan keaksaraan belum dilihat sebagai pembangunan manusia secara komprehensif; (24) belum ada satgas-satgas di tingkat desa, Kecamatan, dan Kabupaten dan; (25) setiap dinas belum terlibat dalam gerakan pendidikan keaksaraan. Kondisi ini kalau digambarkan dalam bagan secara ringkas adalah seperti di bawah iniKondisi  penduduk buta huruf tidak terlepas juga dari kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak usia dini/pra sekolah sekarang ini.  Pendidikan anak usia dini tidak dipersiapkan secara maksimal. Pendidikan, perawatan kesehatan, dan gizi anak usia dini belum menjadi pusat perhatian yang intensif dari seluruh komponen bangsa ini, sehingga hal ini juga mendukung lemahnya anak memasuki proses pembelajaran di pendidikan formal dan non formal. Kurangnya perhatian tersebut dapat dilihat dari tabel data pencapaian pendidikan pada anak usia dini saat ini.

Tabel Distribusi anak dini usia (0-6 tahun)   yang terakses
melalui layanan pendidikan  tahun 2002

No. Propinsi
Jumlah
Anak
Usia
0-6 tahun


 Jumlah anak yang memperoleh layanan pendidikan melalui Jumlah
%
Terakses
SD BKB TK RA KB TPA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (4s/d9) 11(10:3)
1 Jawa Barat & Banten 5.648.080 498.777 629.333 148.424 44.884 480 1.704 1.329.209 24 %
2 Jawa Timur 3.900.814 338.815 602.600 508.576 123.891 288 84 1.585.803 41 %
3 Jawa Tengah 3.634.847 420.648 408.183 286.060 125.070 432 252 1.242.044 34 %
4 Sumatra Utara 1.683.083 171.163 212.401 37.375 5.554 48 3.816 431.047 26 %
5 Aceh 566.553 45.798 163.905 24.470 4.500 24 360 232.613 41 %
6 Yogyakarta 273.825 33.744 47.484 57.551 2.328 264 324 142.622 52 %
7 Sulawesi Selatan 1.064.517 91.562 28.633 51.288 11.937 *) 36 185.285 17 %
8 Sumatra Barat 618.885 57.322 22.539 37.512 8.174 336 132 126.571 20 %
9 Jakarta 929.633 121.131 47.690 83.038 14.744 2.424 228 269.709 29 %
10 Lampung 916.436 105.516 22.859 43.071 4.961 168 72 185.465 20 %
11 Kalimantan Timur 351.630 44.056 38.621 20.614 2.083 120 120 106.682 30 %
12 Sulut & Gorontalo 347.750 46.554 30.750 26.806 464 *) 12 106.385 31 %
13 B a l I 369.157 42.903 25.937 34.289 1.750 *) 36 108.659 29 %
14 R i a u 669.552 78.886 21.495 28.111 4.460 *) 720 136.862 20 %
15 J a m b I 322.608 35.881 26.278 11.280 2.758 120 48 77.525 24 %
16 Bengkulu 201.598 25.411 35.306 8.783 1.880 *) 48 71.742 36 %
17 Kalimantan Selatan 388.438 45.047 11.197 25.899 12.640 96 *) 102.347 26 %
18 Sulawesi Tengah 320.756 32.965 15.020 17.964 2.152 *) 12 68.992 22 %
19 Sumsel & Babel 982.503 120.718 32.351 29.040 6.711 *) 156 189.641 19 %
20 Irian Jaya 360.416 37.472 6.239 12.916 562 *) 540 58.559 16 %
21 Sulawesi Tenggara 278.367 34.112 29.624 12.721 1.039 *) 12 78.300 28 %
22 Kalimantan Tengah 235.447 25.067 3.946 10.407 2.861 48 12 42.379 18 %
23 Kalimantan Barat 527.733 64.095 22.941 11.422 2.848 *) 444 101.487 19 %
24 NTT 660.615 40.568 15.277 18.787 1.485 *) 12 77.502 12 %
25 N T B 564.943 45.578 12.271 25.274 *) *) 36 84.050 15 %
26 Maluku & Malut 354.577 37.473 13.325 11.789 557 *) *) 58.511 17 %


Jumlah 26.172.763 2.641.262 2.526.204 1.583.467 390.413 4.848 9.216 7.199.990 27 %
  *) tidak ada data
Sumber: SD (Depdiknas,00/01), BKB (BKKBN,00/01), TK (Depdiknas,00/01), RA (Depag,98/99), TPA & KB (Depsos & Depdiknas,00/01).
Data di atas memberikan makna bahwa dari 26.172.763 anak usia 0-6 th, hanya 7.199.990  (27%) anak yang baru dapat terlayani pada program pendidikan anak usia dini. Sedangkan 73% anak usia dini tidak terfasilitasi pengembangan kemampuannya. Padahal anak-anak tersebut sangat membutuhkan perhatian yang sangat serius. Masa Golden age tersebut seharusnya mendapatkan stimulasi yang maksimal dan mendapat perawatan kesehatan dan gizi yang standar. Pada masa-masa itu (0-6 th) perkembangan otak anak dapat mencapai 85%.
Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa baik secara kuantitatif dan kualitatif maka pencapaian pendidikan di Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkan. Posisi negara Indonesia di Asia dan dunia internasional ternyata menunjukkan posisi yang selalu di bawah negara-negara ASEAN, bahkan di bandingkan dengan negara Vietnam Indonesia masih lebih rendah. Target-target pendidikan tidak sepenuhnya tercapai. 


Pengaruh Situasi dan Kondisi Sosial Ekonomi Terhadap Daya Beli Masyarakat
Setelah krisis ekonomi mulai tahun 1997 maka perekonomian kita dapat dikatakan masih belum pulih sepenuhnya, tingkat pendapatan masih berada di bawah $ 1.000. Angka pertumbuhan ekonomi 4,8%, laju inflasi sekitar 6,5%. Hal ini mengindikasikan berbagai sektor industri mengalami kelesuan, tidak mampu berproduksi secara maksimal. Apalagi telah terjadi PHK dan pemogokan dalam skala luas. Banyaknya (sekitar 200.000 lebih) pekerja di Malaysia dipulangkan, ini juga menambah beban sosial dan ekonomi negara dan masyarakat secara keseluruhan. Lebih lagi ditambah dengan tingkat kemiskinan Indonesia yang masih tinggi, yaitu  38,4 juta penduduk dalam kategori miskin. Hal ini tercermin dari grafik di bawah ini.
Kecenderungan kemiskinan mulai dari tahun 1998 sampai 2002 masih bersifat fluktuatif. Dengan angka kemiskinan yang masih belum turun secara signifikan, maka mengindikasikan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan belum memberikan kontribusi secara positif. Beban kemiskinan, pengangguran, dan lesunya kondisi ekonomi membuat pertumbuhan ekonomi tidak mampu dipacu melewati angka 5%. Bila dibandingkan negara-negara ASEAN, maka Indonesia masih paling rendah pertumbuhan ekonominya
Perkembangan perekonomian Indonesia sekarang ini mengalami kemunduran karena sektor ekspor saat ini hanya bertumpu pada kegiatan industri primer seperti pertambangan dan pertanian. Hal itu terbukti dari hasil survei yang dilakukan BI pada tahun 2003 terhadap 30 komoditas ekspor andalan, ternyata hanya delapan komoditas yang tumbuh positif. Dari delapan komoditas itu, tujuh di antaranya berasal dari sektor pertambangan seperti timah dan sektor pertanian seperti kelapa sawit dan pulp (bubur kertas). 
Pada tahun terakhir ini ekspor Indonesia sepertinya mengalami peningkatan, akan tetapi kondisinya menunjukkan keadaan sebaliknya. Indonesia sudah set back kepada satu situasi bahwa perekonomian kita kembali menjadi perekonomian yang bertumpu pada industri atau kegiatan sektor primer. Sementara sektor sekunder yang tumbuh positif hanya satu, yaitu elektronik. Kondisi ekspor sekarang ini sangat berbeda dibandingkan dengan tahun 1993-1998, karena saat itu dari 30 komoditas yang di survei, 28 komoditas tumbuh positif, bahkan hingga 40% per tahun. Dilihat daya saingnya, 30 komoditas ekspor andalan Indonesia banyak yang bisa bersaing namun tidak tumbuh. Sementara ada juga industri yang tidak bisa bersaing namun tumbuh karena tidak adanya arahan dari pemerintah dan perbankan. Ekspor memang lebih banyak didorong oleh industri primer daripada industri sekunder. Banyak persoalan yang membuat kinerja industri sekunder sulit berkembang, misalnya, soal fiskal atau pajak pertambahan nilai (PPN), instrumen fiskal kurang mendorong industri sekunder yang berbasis bahan baku alam. Akibatnya, ekspor lebih banyak dilakukan dalam bentuk komoditas primer dan kurang diolah oleh industri sekunder untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah. Contohnya komoditas kakao atau kopi. Penjualan komoditas kopi kepada industri pengolahaan atau industri hilir dikenai PPN sebesar 10%. Akibatnya, produk kakao lebih banyak diekspor dalam bentuk primer. Dengan demikian, industri sekunder kurang dapat bertumbuh. 
Masih muncul ketidakjelasan mengenai pengertian atau terminologi industri primer dan industri sekunder. Industri sekunder, seperti industri manufaktur yang padat karya, termasuk industri primer, juga menghadapi banyak persoalan. Misalnya, komponen biaya produksi yang tinggi dari bahan baku, energi, buruh, sampai transportasi. Hal itu menyebabkan tingkat daya saing produk, seperti dari segi harga, menjadi rendah. Apalagi, industri di dalam negeri dihadapkan pada persaingan tidak sehat akibat maraknya barang impor ilegal atau penyelundupan. 
Sektor perbankan masih belum sepenuhnya mendorong sektor industri manufaktur dan investasi, termasuk sektor usaha kecil dan menengah. Sektor perbankan cenderung memberikan pembiayaan pada sektor-sektor yang konsumtif. Kondisi itu dapat mempengaruhi perkembangan industri secara keseluruhan. Hasil Survei Pemetaan Dunia Usaha oleh BI menunjukkan terjadinya peningkatan pada kelompok komoditas ekspor yang mengalami pertumbuhan negatif. Sebelum krisis, yakni pada periode 1993-1997, dari 30 komoditas ekspor unggulan, hanya 2,1% yang mengalami pertumbuhan negatif. Namun pada periode 1998-2003 angkanya meningkat menjadi 32,5%. Pada tahun 2003 dan 2004 angkanya meningkat lagi menjadi masing-masing 46,7% dan 41,4% (hingga April). Grafik di bawah ini banyak memberikan gambaran mengenai pertumbuhan sektor industri dan perdagangan mulai tahun 1990-2003.Survei tersebut juga memberikan informasi yang lebih rinci mengenai situasi yang dihadapi perusahaan eksportir utama. Perusahaan ini dapat dikelompokkan dan dimasukkan ke dalam suatu kuadran yang terdiri atas kelompok industri yang kompetitif namun bertumbuh. Prioritas yang terbesar dapat diarahkan kepada perusahaan eksportir dengan daya saing tinggi namun tidak bertumbuh.  Hal yang harus dilakukan  pada masa mendatang adalah menjaga stabilitas ekonomi, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta mendorong sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Stabilitas ekonomi Indonesia mendapat tantangan yang berat dengan terus naiknya harga  minyak mentah di pasar dunia, hingga mendekati 50 dollar AS per barrel. Akibatnya, pemerintah harus membayar subsidi BBM lebih besar, dan upaya mendorong sektor ekonomi lain seperti UMKM menjadi berkurang. Melemahnya pertumbuhan ekonomi China dan Jepang secara tidak langsung akan memperlemah laju ekspor Indonesia dalam waktu dekat. Sementara untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, seharusnya lebih banyak mengekplorasi banyaknya sumber daya alam dan sumber daya manusia yang belum optimal dimanfaatkan sehingga tidak tersia-siakan keberandaannya. Untuk memanfaatkan itu maka perlu investasi. Namun, investasi mensyaratkan stabilitas makro, politik dan berbagai kondisi yang kondusif. Itu yang diharapkan dapat segera dibangun. Adapun mengenai UMKM, BI harus peduli untuk mendorong perkembangan UMKM meskipun tugas utama BI adalah menjaga stabilitas moneter. Tanpa begitu maka UMKM akan mati sebelum menjadi besar. Semua itu karena sudah terbukti bahwa ekonomi Indonesia adalah ekonomi UMKM.
Situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap daya beli buku masyarakat, dan pada gilirannya akan mempengaruhi minat baca masyarakat secara umum. 

Tantangan dan Peluang Masa Depan
Dewasa ini kita menyaksikan suatu peristiwa krisis pembangunan.Kapitalisme yang diagungkan selama ini mengalami kejatuhan. Krisis terhadap pembangunan saat ini  pada dasarnya belum berakhir, tetapi mode of domination telah disiapkan, dan dunia memasuki era baru yakni, era globalisasi. Proses globalisasi tentu sangat berkaitan dengan liberalisasi dan desentralisasi. Kekuatan dari globalisasi terletak pada sistem yanguncentralistic. Oleh karena itu tema pembangunan lebih diarahkan pada kebijakan desentralisasi dan otonomi. Tidak terlepas dengan kebijakan pembangunan kita, yaitu otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah tersebut maka membawa dampak yang sangat banyak bagi daerah.Tantangan dan peluang daerah berkembang secara cepat tentu sangat berat. Apabila dilihat dari tantangan yang dihadapi maka  yang muncul adalah masalah (1) sumber daya manusia, daerah dengan potensi SDM yang masih sangat lemah tidak memungkinkan percepatan pembangunan, gejala eksplorasi SDM tentunya harus segera dilakukan secara maksimal, (2) Ada multipolarisasi potensi sumber daya alam, ada daerah yang kaya, sedang, dan miskin SDA, ini akan menjadikan daerah mempunyai kendala yang berbeda-beda. Bagi daerah yang ”kaya” tentunya tantangannya adalah bagaimana daerah tersebut mengelola secara benar dan maksimal, bagi daerah ”miskin” tantangannya adalah meggali potensi SDM secara maksimal dan membangun jaringan jasa secara luas dan efektif, (3) Perilaku negatif, ada perilaku konsumtif dari masyarakat yang mendukung budaya konsumerisme, dan budaya ini menyuburkan budaya korupsi. Sedangkan peluang yang dapat digali dan dimanfaatkan adalah (1) daerah mempunyai kekuasaan penuh untuk membuat perencanaan dan melaksanakan pembangunan tanpa intervensi dari pemerintah pusat maupun propinsi. Kemandirian daerah secara langsung dapat dipunyai oleh daerah, (2) Keputusan-keputusan strategis mengenai daerahnya dapat dilakukan langsung oleh pejabat pemda dan lembaga dewan, tanpa harus menunggu pesan dari pemerintah pusat, (3) Pembangunan lebih dapat dimaksimalkan sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakatnya, (4) Kemampuan untuk eksplorasi SDA dan SDM semaksimal mungkin tidak lagi tergantung pada keputusan pemerinah pusat.
Krisis ketidakpercayaan, krisis moral, ekonomi dan politik serta terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang semakin terang-terangan dan sulit diberantas masih berlangsung sampai saat ini, itu semua membawa implikasi ke arah ketidakpastian secara nasional dalam berbagai bidang, sehingga mengakibatkan : (1) meningkatnya jumlah pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK);  (2) meningkatnya angka kemiskinan;  (3) meningkatnya angka putus sekolah;  (4) rendahnya mutu pendidikan;  dan  (5) rendahnya pemerataan pendidikan; serta  (6) meningkatnya remaja yang terkena narkoba, (7) munculnya daerah konflik yang semakin banyak, (8) budaya kekerasan dan pronografi yang semakin terbuka dan bebas, (9) perilaku konsumerisme yang tidak mendukung budaya hemat dan mandiri.
Hal itu menjadi tantangan yang terberat bagi pembangunan masa depan. Pendidikan tidak dapat melepaskan tanggung jawab dari semua permasalahan dan tantangan di atas. Disamping permasalahan dan tantangan yang dihadapi maka ada beberapa peluang yang mungkin dapat dimanfaatkan, (1) perkembangan demokrasi semakin baik, sehingga partisipasi masyarakat akan semakin dapat peran yang labih maksimal, (2) Adanya iklim transparansi pemerintahan, sehingga memberikan peluang untuk koreksi secara total tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, (3) perilaku komunikatif melalui media informasi yang terbuka laus aksesnya, akan memberikan mobilitas yang tinggi terhadap kinerja lembaga, (4) Penataan pemerintahan yang demokratis, memberikan peluang kepercayaan masyarakat akan pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu untuk menghadapi tantangan dan peluang tersebut diperlukan strategi khusus, yaitu:
  1. Menciptakan pola-pola baru peningkatan kualitas dan kuantitas ketenagaan dan kelembagaan;
  2. Menciptakan jaringan kerjasama (kemitraan) terpadu dengan lembaga non pemerintah, (LSM, private sectors) baik lembaga dalam negeri maupun luar negeri;
  3. Mencari peluang-peluang baru pendanaan terhadap kelembagaan;
  4. Menciptakan birokrasi kelembagaan yang efisien, ketat pengawasan, profesional dan tidak lamban.

Prinsip-prinsip yang penting (the essential principles) dalam pengembangan dan peningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah melalui program yang menarik, produktif, maju dan menguntungkan (attractive, productive, progressive, and profitable).Untuk mencapai kualitas masyarakat seperti di atas harus dilandaskan pada filosofi: life long learning yang bertumpu pada pendidikan untuk hidup (education for life) dan berorientasi pragmatism learning. Pendidikan berbasis pada kebutuhan aktual masyarakat, yaitu: kebutuhan aktual masyarakat lokal, nasional dan global. Pendidikan perlu didesain dengan paradigma baru, yaitu: homocentric model, yaitu menekan pada beberapa karakteristik, seperti : (a) Menekankan partisipasi masyarakat  dan lembaganon government organizations dalam proses pendidikan luar sekolah;  (b) memfokuskan human resources quality development; (c) mengarahkan padalife long learning and community  learning; (d) Menekankan pada kebutuhan masyarakat dalam setiap merancang program pendidikan luar sekolah; (e) Pemerintah hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam proses penyadaran pendidikan.
Kunci keberhasilan program pendidikan adalah adanya pembinaan tenaga kependidikan dan kelembagaan yang terpadu, yaitu dengan membuat reposisi terhadap pembinaan tenaga kependidikan dan kelembagaan, baik di level pusat, regional propinsi dan daerah. Dengan strategi, menciptakan pola-pola pembinaan secara kemitraan yang koordinatif, bukan lagi vertikal-direktif (instruktif). Kita harus berani mengkaji ulang berbagai tugas dan fungsi, kompetensi ketenagaan dan kelembagaan kita. Kajian komprehensif tersebut harus didasarkan pada kebutuhan aktual masyarakat, orientasi produk dan kebutuhan masyarakat yang sedang aktual.
Dengan dukungan tenaga dan lembaga yang kuat, maka kualitas program akan mampu menjawab berbagai peluang dan tantangan tersebut di atas. Mengapa pembinaan tenaga kependidikan dan kelembagaan sangat diperlukan? Karena tanpa tenaga-tenaga pendidikan yang berkualitas dan kelembagaan yang sistematis, sesuai dengan berbagai perkembangan dalam masyarakat tentunya tidak akan didapat program-program yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kiranya akan sulit untuk berbicara mengenai mutu dan pemerataan program pendidikan luar sekolah dan pemuda di masyarakat kalau kita tidak mempunyai tenaga-tenaga kependidikan yang bermutu, berwawasan global, mempunyai mental pembaharuan dan keunggulan, bersikap 
enterpreneurshipdan kelembagaan yang sistemik dan komprehensif.
Dengan kelembagaan ketenagaan dan kelembagaan yang sistemik dan komprehensif kita akan mampu:
Pertama memfokuskan reinforcement SDM kita secara maksimal guna mendukung keberhasilan program pendidikan luar sekolah dan pemuda di masyarakat.
Kedua, dapat tetap tergalang adanya sinkronisasi dan koordinasi dalam setiap bidang dan aspek program, agar pembangunan pendidikan luar sekolah dan pemuda tetap dalam kerangka pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Caranya yaitu: dengan membuat pengkajian perencanaan kelembagaan terpadu untuk peningkatan SDM Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, sehingga tidak terjadi ketimpangan kualitas SDM, antar Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Ketiga, dapat diciptakan program-program peningkatan bagi SDM yang tidak konvensional lagi, yaitu mencari paradigma baru pendidikan dan latihan (The new educational and training paradigms) yang mampu merubah sikap dan mental tenaga kependidikan kita, yaitu: dari yang bermental birokrat menjadi tenaga kependidikan yang mempunyai rasa butuh berprestasi (needs for achievement) dan mempunyai motivasi berprestasi tinggi (high of achievement motivation), mandiri, profesional serta tingkat pengabdian yang tinggi pula. Dengan paradigma pendidikan dan latihan yang baru diharapkan akan muncul SDM  yang solid dalam  prestasi dan mempunyai sikap pengabdian yang tulus.
Keempat, dilakukan pengkajian terpadu secara terus menerus tentang ketenagaan pendidikan luar sekolah dan pemuda. Caranya yaitu: dengan menyusun standar kompetensi, akreditasi dan kualifikasi terhadap ketenagaan diklusepa secara terpadu baik tenaga di Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota. Dengan ketiga jenis kegiatan pengkajian dan penilaian (research and assessment) di atas kita akan mendapatkan profil dan kinerja (performance) ketenagaan yang sesuai dan mampu menjawab beban tugas yang semakin berat dan kebutuhan belajar yang berkembang cepat di masyarakat.
Pendidikan Non Formal (Pendidikan Luar Sekolah) merupakan bagian integral dari pembangunan pendidikan nasional yang diarahkan untuk menunjang upaya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia yang cerdas, sehat, terampil, mandiri dan berakhlak mulia sehingga memiliki ketangguhan dalam menghadapi berbagai tantangan. Pembangunan Pendidikan Non Formal (PNF) secara bertahap terus dipacu dan diperluas guna memenuhi kebutuhan belajar masyarakatyang tidak mungkindapat terlayani melalui jalur pendidikan formal (PF). Sasaran pelayanan PNF diprioritaskan pada warga masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus sekolah penganggur/miskin dan warga masyarakat lain yang ingin belajar untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilannya sebagai bekal untyk dapat hidup lebih layak. Dengan semakin meluasnya pelayanan program PNF yang bermutu, akan memberikan kontribusi besar dalam usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan semakin berkurangnya penduduk buta aksara, suksesnya wajar 9 tahun dan terciptanya tenaga-tenaga terampil yang siap memasuki dan membuka lapangan kerja baru, yang pada gilirannya mampu meningkatkan pendapatan dan produktivitas nasional serta manaikkan peringkat Indek Pembangunan Manusia Indonesia (IPM).Pembangunan pendidikan saat ini mengalami perubahan sistem yang mendasar. Pembangunan pendidikan kita tidak bisa dilepaskan dari pembangunan secara utuh. Pendidikan harus memberikan sumbangan bagi pembangunan secara keseluruhan.  Oleh karena itu pendidikan harus mampu merubah struktur masyarakat yang statis ke arah sistem sosial yang dinamis. Pendidikan harus mempengaruhi, merombak, mengubah, dan membentuk lembaga-lembaga sosial-kultural. Pendidikan harus mendorong sikap individual ke arah efektivitas, integritas, dan sikap komunal ke arah rasionalitas dan fungsional. Sehingga pendidikan mampu berpengaruh secara inovatif  terhadap kondisi-kondisi kemasyarakatan yang menghambat perkembangan pembangunan. Oleh karena itulah pembangunan pendidikan merupakan bagian sistem pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan demikian kebijakan mengenai pendidikan selalu terkait dengan kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan pembangunan nasional melalui Undang-Undang No 22  tahun  2000, mengamanatkan adanya perubahan yang mendasar akan sistem pemerintahan, yaitu dari sentralisasi menjadi otonomi daerah. Kebijakan ini berimplikasi secara meluas juga pada bidang pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan juga diarahkan pada desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan. Otonomi pendidikan memberi peluang berkembangnya program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. Pemerintah pusat sebagai lembaga pemerintah hanya berfungsi sebagai pembuat standar, pedoman, pemantau dan fasilitator untuk memaksimalkan semua potensi daerah masing-masing. Otonomi pendidikan pada dasarnya adalah usaha mendekatkan pengambilan keputusan program terhadap sasaran program, upaya untuk memberdayakan masyarakat pada skala mikro dengan tingkat pengambilan keputusan program pada level sasaran program. Tidak lagi pemerintah pusat intervensi dalam mengembangkan program. Pemerintah daerah seharusnya melakukan perencanaan pendidikan dengan berdasarkan asumsi potensi dan masalah yang ada di masyarakatnya. Peran Pemerintah daerah Kab/Kota dalam mengelola pendidikan sangat  menentukan keberhasilan programnya.

Budaya Baca Masyarakat Untuk Mendukung Peningkatan SDM
Salah satu ciri perwujudan masyarakat belajar (learning society) adalah terwujudnya masayarakat gemar membaca, atau dengan kata lain membaca menjadi aktivitas utama setiap anggota masyarakat dalam masyarakat belajar. Sudah sangat lama bangsa Indonesia menginginkan terwujudnya budaya membaca di kalangan masyarakat. Namun ternyata sampai dengan usia kemerdekaan yang hampir 60 tahun, budaya membaca itu belum nampak terwujud. Kebisaaan membaca hanya menjadi perilaku sebagian kecil dari komunitas kaum terpelajar dan mereka yang sejak lama memang telah mempunyai tradisi gemar membaca dari keluarganya. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia membaca lebih dirasakan sebagai beban daripada sebagai sebuah kegiatan yang banyak bermanfaat
Dengan situasi demikian, maka pewujudkan masyarakat belajar yang ditandai dengan tampilnya budaya membaca, nampaknya masih perlu diupayakan dengan berbagai cara. Bagi jajaran Departemen Pendidikan Nasional, lahirnya sebuah prototype masyarakat yang memiliki budaya membaca yang baik, merupakan salah satu komitmen yang ingin selalu diperjuangkan. Sungguh mudah untuk membuat sebuah pemahaman bahwa membaca merupakan sebuah aktivitas utama dalam pembelajaran dan pendidikan. Tanpa hadirnya aktivitas membaca sebagai sebuah perilaku budaya yang terlembagakan, maka proses pendidikan dan pembelajaran akan banyak mengalami kendala. Secara sosio-psikologis, orang melakukan aktivitas membaca pasti dengan alasan, tujuan, dan makna yang berbeda-beda, di mana hal itu tergantung pada banyak hal. Salah satu factor penentu variabilitas alasan, tujuan, dan makna membaca adalah karakteristik pribadi dan karakteristik sosiologis personal.
Secara opsional variasi alasan, tujuan, dan makna membaca dapat dibedakan, antara lain sebagai berikut; (1) sebagai bentuk pelaksanaan tugas utamanya, misalnya para redaktur surat kabar, pada editor dan penyunting buku, para sekretaris yang membaca draft-draft surat, kontrak, dan sebagainya, (2) sebagai cara memperoleh pengetahuan. Hal ini terjadi pada para pelajar, mahasiswa, akademisi, dan sebagian besar orang yang membutuhkan ilmu pengetahuan dari buku, (3) sebagai cara untuk menjaring informasi bagi pelaksanaan dan keberhasilan pekerjaan atau aktivitas lainnya, misalnya terjadi pada para pelaku dagang untuk mencari informasi tentang harga barang, nilai uang, distribusi barang, kebijakan tata niaga, dan sebagainya, (4) sebagai cara mengisi waktu luang, (5) sebagai hobi atau kegemaran.
Di antara berbagai alasan, tujuan, dan makna membaca tadi, pada umumnya masyarakat Indonesia melakukan aktivitas membaca lebih didorong karena alasan melaksanakan tugas dan memperoleh pengetahuan. Sedangkan yang melakukan aktivitas membaca demi alasan mencari ilmu pengetahuan, hobi, serta mengisi waktu luang belum banyak terjadi. Apabila sebuah aktivitas membaca sudah menjadi bagian dari perilaku budaya (berbudaya membaca) maka alasan untuk mencari ilmu, hobi, dan mengisi waktu luang tentu harus lebih dominan daripada demi alasan melaksanakan tugas atau alasan memperoleh ilmu pengetahuan. Kemanakah sebenarnya budaya membaca akan kita kembangkan? Bagaimanakah sebenarnya 
prototype masyarakat yang sudah berbudaya membaca? Apabila budaya membaca belum berkembang pada bangsa Indonesia. Tentu hal ini ada sebab-sebab atau faktor yang mempengaruhinya.
Pertama, secara kultural, masyarakat Indonesia memang tidak memiliki tradisi membaca sejak jaman nenek moyang. Sebagaimana bisa ditelusur melalui literatur-literatur yang ada, perilaku membaca masyarakat Indonesia hampir dapat dikatakan “tidak ada”. Hal ini bisa dibuktikan dengan tiadanya artefak tulisan dalam jumlah yang banyak. Artefak tulisan hanya bisa ditemukan pada prasasti-prasasti berbahan baku batu atau tulisan kuna yang ditorehkan pada daun lontar, kulit binatang, atau pada kulit kayu. Dengan bahan baku demikian maka jumlahnya tidak bisa banyak (tidak massal). Situasi ini atau mungkin juga karena sebab lain, pada hampir seluruh etnis di Indonesia ini berkembang budaya lisan (folklore). Betapa mudah budaya (bahkan sastra) lisan bisa ditemukan di segenap penjuru tanah air. Segenap dongeng-dongen, mitos, fabel, puisi, pantun, petatah-petitih, peribahasa, syair, dan cerita rakyat dituturkan secara lisan, tanpa ada naskah tetulisnya. Bahkan ada satu karya budaya bangsa Indonesia yang hampir sepenuhnya tidak boleh dituliskan, tetapi hanya boleh dihafalkan ecara lisan, yaitu mantra-mantra. Pada sebagian etnis masyarakat Indonesia, mantra-matra untuk upacara agama, pengobatan, atau aktivitas budaya lainnya sangat banyak jenisnya. Hampir semuanya diwariskan melalui transfer secara lisan. Bahkan memang tidak boleh ditulis, termasuk direkam menggunakan tape recorder atau audio-vidio recorder. Dengan situasi budaya lisan ini maka mengembangkan budaya baca membutuhkan strategi yang khusus.
Kedua, berkembangnya budaya dengar (audio) dan video melalui teknologi informasi pada abad 19. Dengan hadirnya era teknologi informasi, masyarakat Indonesia yang baru belajar membaca, telah teralihkan perhatiannya kepada perilaku budaya pandang dan dengar, yaitu melalui media televisi dengan berbagai variannya. Dibanding aktivitas membaca, aktivitas mendengar (radio), dan aktivitas mendengar dan melihat  (televisi, film, VCD dengan berbagai variannya) memang jauh lebih menarik dan lebih ringan dalam pengeluaran energi. Siuasi budaya dengan dan lihat ini telah lebih menjauhkan masyarakat Indonesia untuk berperilaku membaca. Membaca memutuhkan waktu yang khusus, membutuhkan kesipan indera secara khusus secara terkonsentrasi, dan membutuhkan prasyarat kemampuan yang relatif rumit (yaitu kemampuan keaksaraan, kebahasaan, tata bahasa, dan pemaknaan). Kecenderungan masyarakat saat ini lebih suka menonton TV atau VCD/DVD jika dibandingkan dengan membaca buku karena hal itu tidak terlepas dengan gencarnya siaran TV swasta dan TVRI yang menayangkan tontonan yang lebih menarik, ringan, dan menikmatkan pemirsanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tayangan televisi dapat mempengaruhi terhadap rendahnya minat baca. Menonton TV akan lebih santai karena dapat mengerjakan hal-hal yang ringan sambil menikmati sajian TV. Siaran TV dan VCD lebih menawarkan berbagai tayangan yang variatif, mulai dari hiburan, berita ringan, gosip, hal-hal yang irasionil, sampai berita yang dapat dilihat secara live. Sedangkan membaca buku lebih cenderung konsentrasi dan tidak dapat dilakukan sambil mengerjakan sesuatu yang lain.Membaca buku harus lebih tenang, sabar, dan bahkan dibaca secara perlahan dan berulang-ulang. Energi yang dibutuhkan untuk membaca lebih besar dibandingkan menonton TV atau VCD. Hampir semua orang sependapat bahwa nonton TV atau VCD lebih enak dibandingkan membaca. Alasannya sederhana, nonton TV atau VCD lebih mudah dan menarik. Itulah sebabnya TV dan VCD berkembang jauh lebih pesat dibandingkan perkembangan percetakan buku.Ketiga, tingkat kemampuan membaca dan selera membaca yang buruk pada masyarakat. Mudah untuk mengidentifikasi bahwa kemampuan membaca (dan menulis) masyarakat Indonesia belum menggembirakan. Ilustrasi yang paling atraktif adalah rendahnya kemampuan membaca dan menulis pra mahasiswa di perguruan tinggi. Para dosen sering mengeluh bahwa dalam membimbing penulisan skripsi, bahkan tesis; para dosen harus susah payah pula membenahi tata bahasa, di mana berdasarkan logika kemampuan tata bahasa ini seharusnya sudah selesai (sudah terkuasai) ketika para mahasiswa itu menamatkan pendidikan dasar. Apabila dalam menulis saja tidak mampu dikerjakan dengan baik, maka bisa diduga kemampuan membaca mereka juga kurang memuaskan. Pada sisi lain, jenis bacaan yang disukai masyarakat Indonesia juga kurang sesuai dengan idealisme pewujudan budaya membaca. Jenis bacaan yang dikonsumsi masayarakat, terutama kelas menengah ke bawah adalah komik (picisan), berita kirminal (dari koran kuning), esay pornografi dan cerita misteri (dari tabloid). Mungkin akan cukup sulit menemukan warga masyarakat yang memiliki selera baca baik.
Keempat, seperti diuraikan pada bagian di atas, bahwa daya beli masyarakat kita masih rendah, hal itu disebabkan beban ekonomi masyarakat semakin tinggi, sehingga untuk membelanjakan uangnya untuk membeli buku kiranya akan sangat sulit dan penuh pertimbangan. Kerena krisis ekonomi tersebut maka sebagian sumberdaya ekonomi (keuangan) yang ada diprioritaskan untuk membiayai pos utama, sedangkan alokasi untuk mendapatkan bahan bacaan yang bermutu tidak menjadi prioritas.
Kelima, masyarakat belum bisa melihat, merasakan, atau menikmati keuntungan (benefit) yang bisa didapat dari kegemaran membaca. Belum ada contohnya bahwa orang yang gemar membaca hidupnya akan makmur. Masyarakat masih memandang kegemaran membaca belum memberikan keuntungan ekonomis, sehingga belum menimbulkan minat membaca.

PLS, SDM, dan Pemasyarakatan Budaya Baca

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, tercantum butir kalimat  mencerdaskan kehidupan bangsa, makna dari kalimat tersebut sangat erat kaitanya dengan pendidikan. Pendidikan menjadi instrumen untuk mewujudkan masyarakat dan bangsa yang cerdas, pendidikanlah yang harus dirancang dan diimplementasikan secara baik. Salah satu faktor untuk mewujudkan kecerdasan bangsa dan pendidikan yang maju adalah terciptanya budaya baca di masyarakat. Dengan adanya pendidikan yang maju dan budaya baca yang telah mengakar pada masyarakat maka akan muncul masyarakat dan bangsa yang cerdas dalam kihidupannya.  Oleh karena itu diperlukan instrumen-instrumen legal aspek yang melandasi terwujudnya cita-cita tersebut.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 13,  memuat jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Ketiga jalur pendidikan tersebut satu kesatuan sub sistem untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Lebih khusus lagi pada pasal 26, ayat 2 dinyatakan bahwa “pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional,” ini berbarti bahwa pendidikan non formal mendapatkan keleluasan untuk mengembangkan SDM masyarakat dan memasyarakatkan budaya baca dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan yang berguna untuk kehidupan masyarakat. Sedangkan ayat 3 menyatakan, bahwa “pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Jenis pendidikan non formal yang dikembangkan dan dilaksanakan begitu luas dan beragam, ini memungkinkan masyarakat mengakses program pendidikan non formal sesuai dengan kebutuhan aktual dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing warga belajar, termasuk juga dalam memasyarakatkan budaya baca lewat program pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Masing-masing jenis program dikembangkan sesuai dengan tuntutan permintaan masyarakat. Program-program tersebut dikuatkan lagi dengan wadah lembaga pendidikan non formal seperti dinyatakan pada ayat 4,  yaitu bahwa “satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis.” Agar kegiatan kursus dan pelatihan mampu membekali masyarakat agar berkaulitas dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maka hal itu diperkuat lagi pada ayat 5, yang menyatakan bahwa “kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, dan usaha mandiri, dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.” Khusus satuan pendidikan non formal, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), didesain sebagai tempat belajar yang lebih fleksibel. Tidak terlalu ketat waktu terhadap pelaksanaan pembelajaran. PKBM  didirikan oleh masyarakat dan langsung dimanfaatkan oleh masyarakat. Fungsi PKBM selain sebagai pusat tempat pembelajaran, juga sebagai wadah berdirinya TBM. Integrasi tempat tersebut diharapkan mampu membangun kesadaran masyarakat untuk membudayakan membaca.
Di samping pasal 26, maka pada bagian ketujuh pasal 28 Undang-Undang No. 20 tahun 2003, menguraikan mengenai Pendidikan Anak Usia Dini, bahwa (1) Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan atau informal, dan (3) Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk Kelompok Bermain (KB) Taman Penitipan Anak (TPA) atau bentuk lain yang sederajat. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan non formal menawarkan kesempatan yang sebaik mungkin kepada semua usia untuk dapat dikembangkan dan difasilitasi peningkatan potensinya. Oleh karena itu pendidikan non formal  yang termasuk di dalamnya pendidikan kepemudaan berperan dalam memberikan pelayanan pendidikan dalam rangka pembangunan bangsa dan melakukan pendidikan bagi warga masyarakat sebagai investasi sumber daya manusia pada pembangunan nasional di masa yang akan datang. Pendidikan non formal dalam usahanya memberi pelayanan kepada masyarakat melaksanakan program peningkatan SDM dan memasyarakatkan budaya baca adalah dengan program-program sebagai berikut:

1.  Pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM)
Program TBM telah dimulai sejak tahun 1992/1993. Pendirian TBM ini merupakan pembaharuan dari Taman Pustaka Rakyat (TPR) yang didirikan oleh Pendidikan Masyarakat pada tahun 1950-an. Program TBM mempunyai secara umum mempunyai tujuan untuk membangkitkan dan meningkatkan minat dan budaya baca masyarakat untuk membaca dan belajar sehingga tercipta menyarakat belajar. Sedangkan secara khusus ditujukan untuk memfasilitasi aksarawan baru pada program keaksaraan fungsional agar kemampuan membaca mereka tetap dapat terjaga dan dapat ditingkatkan sehingga tidak buta aksara kembali. Di samping itu TBM juga dimaksudkan untuk memfasilitasi terciptanya suasana belajar di masyarakat, sehingga muncul kesadaran kritis dalam mensikapi perkembangan di lingkungannya. TBM dengan kata lain merupakan perpustakaan kecil masyarakat, yang mempunyai koleksi buku relatif sesuai dengan kebutuhan lingkungan masyarakat setempat, dengan demikian TBM mempunyai buku-buku yang bersifat fungsional. TBM mendapatkan dana bantuan pembelian buku dari pemerintah dan para donotur yang peduli terhadap pendidikan dan pemasyarakatan budaya membaca. Untuk menumbuhkan dan membangun minat baca masyarakat tidak semudah membalikkan tangan, apalagi menciptakan budaya baca dan belajar. Berbagai hambatan struktural seperti keterbatasan anggaran, tenaga, sarana/prasarana, mekanisme kerja, luasnya sasaran yang harus dilayani serta sikap mental petugas dan masyarakat sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang akan diambil. Sementara itu perubahan eksternal yang terus berlanjut seperti perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang semakin pesat turut mempersulit dalam menentukan alternatif-alternatif pilihan yang dianggap paling tepat. Taman  Bacaan Masyarakat (TBM) didirikan hingga pelosok desa, dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan peluang bagi warga masyarakat desa untuk membangkitkan budaya baca dan belajar. Dengan adanya budaya baca dan belajar diharapkan masyarakat dapat pula meningkatkan wawasan dan pengetahuannya. Melalui sarana pembelajaran yang tersedia diharapkan dapat mendukung prinsip pembelajaran di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja. Namun ini semua hanya mungkin terlaksana apabila ada upaya  yang terus menerus untuk untuk menciptakan lingkungan belajar (learning einveronment) dengan mengkondisikan dan mendorong masyarakat agar senantiasa belajar dan gemar belajar. Upaya ini merupakan tanggungjawab kita semua. Untuk menciptakan lingkungan belajar perlu dukungan dan kerjasama semua pihak. Peran dari para politisi, akademisi/pakar, pejabat, pengusaha, pemuka agama dan tokoh masyarakat, serta masyarakat lainnya amatlah besar demi terciptanya kondisi gemar belajar pada masyarakat. Dukungan dan motivasi itu misalnya adanya peraturan“jam belajar masyarakat” seperti yang terjadi di daerah Yogyakarta dan Cirebon, dimana pada jam-jam tertentu (jam 18.00-20.00) warga masyarakat dilarang keluar rumah kecuali untuk kegiatan belajar. Apabila ada dukungan dari semua pihak termasuk setiap keluarga tidaklah sulit untuk menciptakan gemar membaca dan belajar  di kalangan masyarakat. Bantuan untuk mennumbuhkan TBM setiap tahunnya  sangat menggembirakan, yaitu: berkisar antara 700 TBM sampai dengan 900 TBM bahkan pada tahun 2005 direncanakan akan diberikan bantuan sebanyak 2000 TBM, besar bantuan sekitar 4 juta rupiah. 

Atas dasar pemikiran di atas, maka diharapkan semua komponen yang ada di masyarakat berperanserta dalam upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, sehingga upaya membangun budaya baca dan belajar masyarakat akan terwujud. Oleh karena itu segala upaya untuk mendorong setiap orang agar gemar membaca dan tidak berhenti belajar, harus terus menerus didukung dan digalakkan agar bangsa ini mampu bersaing di era globalisasi ini. Optimalisasi segala sumber dan potensi yang ada di lingkungan masyarakat. Sejauh mungkin mengupayakan keterlibatan dari berbagai unsur dari mulai lembaga keluarga, RT/RW, Desa/Kelurahan, perusahaan, lembaga/organisasi sosial, dinas/instansi terkait, serta menggerakkan para tokoh masyarakat. Memperluas jaringan informasi dan kerjasama dengan berbagai instansi, organisasi, dunia usaha, LSM dan tokoh masyarakat atas dasar saling memberi manfaat. Buku-buku yang tersedia di TBM disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu disediakan buku-buku yang bervariasi sesuai dengan minat masyarakat. Untuk memperoleh buku-buku yang bervariasi tersebut, maka dijalin kerjasama dengan berbagai instansi/lembaga lain, khususnya dengan penerbit. Untuk masa yang akan datang perlu menjalin kerjasama yang lebih intensif dengan penerbit, perpustakaan, lembaga-lembaga perbukuan dan para pecinta buku, perpustakaan dan kalayak umum, serta para donotur yang ada di seluruh Indonesia, sehingga seluruh TBM dapat memiliki buku-buku yang berkualitas dan bervariasi. Setiap Desa atau PKBM diupayakan memiliki TBM. Koleksi buku yang ada di setiap TBM/perpustakaan umum diusahakan selalu menarik, sehingga minat baca masyarakat cenderung akan semakin tinggi dan minat untuk mengunjungi serta memanfaatkan keberadaan TBM/perpustakaan umum juga tinggi. Apabila masyarakat sering mengunjungi dan memanfaatkan keberadaannya, maka diharapkan masyarakat gemar membaca dan belajar segera terwujud.

  1. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat adalah adalah sebuah lembaga atau wadah menampung kegiatan belajar masyarakatehingga keberadaannya merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih atau dijadikan ajang pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan pemikiran melembagakan  PKBM, maka potensi yang selama ini tidak tergali akan dapat digali, ditumbuhkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Gagasan menggulirkan PKBM ini timbul karena luasnya sasaran layanan, kompleksitas permasalahan dan kendala yang dihadapi masyarakat. Hal ini menyadarkan dan menyemangati pelaku pembangunan untuk melakukan berbagai upaya pembelajaran masyarakat yang berpangkal pada masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat, berada dalam lingkungan masyarakat dan bermakna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Strategi ini digunakan agar dalam setiap penyelenggaraan program pembelajaran masyarakat senantiasa dalam koridor pemberdayaan masyarakat. Dalam perspektif itulah pelaksanaan strategi mendinamisasi peran serta masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, mengembangkan dan melembagakan kegiatan belajarnya yang diaktualisasikan dengan pembentukan PKBM.
Prinsip utama pembentukan PKBM adalah bertolak dari kebermaknaan, kebermanfaatan dan keterlibatan warga belajar dalam perencanaan dan pelaksanaan program belajar. PKBM tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat dan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator. PKBM bukan milik pemerintah, tetapi miliki masyarakat yang dikelola oleh masyarakat setempat dimana PKBM berada. Bagaimanapun, keberhasilan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan secara tidak langsung akan meberikan ruang gerak yang lebih luas, sehingga masyarakat akan semakin dewasadan semakin mandiri dalam menentukan masa depannya. Dengan demikian pengembangan program-program yang ada di PKBM diarahkan pada pengembangan potensi masyarakat. Anggota masyarakat yang memiliki kelebihan, baik dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan membantu mereka yang masih ketinggalan pendidikannya, sehingga masyarakat mampu untuk mandiri, menopang kehidupan keluarga dan mendukung pembangunan masyarakatnya. Dengan kata lain, apabila potensi yang ada di masyarakat dapat berkembang secara optimal, maka keberadaan PKBM akan selalu mendapat tempat dan dukungan dari masyarakat yang mengarah pada suatu tujuan, yaitu terciptanya masyarakat yang gemar belajar, kreatif, dinamis, mandiri, memiliki daya saing serta sanggup menghadapi segala tantangan ke depan.
Dewasa ini tercatat sekitar 1.500 PKBM tersebar di seluruh Indonesia. Dukungan pemerintah dalam upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan PKBM antara lain berupa: (1) peningkatan kemampuan tenaga pengelola PKBM melalui kegiatan pelatihan, (2) pemberian subsidi kepada PKBM. Dengan dana subsidi diharapkan PKBM mampu mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang terus meningkat dan beragam.

  1. Pemberantasan Buta Aksara
Program ini sangat strategis bila dikaitkan dengan pemasyarakatan budaya membaca. Program ini merupakan prioritas utama PNF (PLS), karena buta aksara erat kaitannya dengan kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, ketidakberdayaan. Di samping itu buta aksara merupakan salah satu indikator dalam penentuan tinggi rendahnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) serta penghambat suksesnya Wajar 9 tahun karena berdasarkan berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila orang tua anak menyandang buta aksara, maka anaknya cenderung tidak sekolah dan kalaupun sekolah potensi untuk mengulang kelas dan putus sekolah pada kelas-kelas awal SD besar kemungkinan terjadi. Masih banyaknya penduduk buta aksara, disebabkan karena: (1) terus terjadinya siswa Sekolah Dasar pada kelas 1,2, dan 3 rata-rata 200.000 – 300.000 per tahun yang disinyalir berpotensi menjadi buta aksara baru; (2) anak-anak yang tidak sekolah sejak awal karena masalah geografis dan ekonomi; (3) terjadinya buta aksara karena kurangnya intensifikasi terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan keaksaraan mereka. Dengan melihat permasalahan di atas, sejak tahun 2003 sasaran pemberantasan diprioritas usia 15-44 tahun, dengan harapan akan mampu membendung masukan buta aksara baru. Untuk menjamin agar warga belajar yang dikenai sasaran tidak putus belajar dan atau terjadi kelangsungan program pembelajaran dengan hasil yang bermutu, maka mulai pada tahun 2003 juga diadakan reposisi dalam penyelenggaraan program pemberantasan buta aksara. Reposisi tersebut terdiri dari: (1) Fleksibilitas dalam pembentukan kelompok belajar, maksimal tiap kelompok diikuti 10 orang dengan dibantu oleh seorang tutor yang mengajarkan baca, tulis dan hitung serta pengetahuan dasar. Seorang tutor lagi memfasilitasi dalam pembelajaran keterampilan, (2) satuan biaya ditingkatkan seperti biaya penyelenggaraan, honorarium tutor dan dana belajar keterampilan. Dalam proses pembelajaranpun digunakan metode keaksaraan fungsional (KF), proses pembelajaran dari disesuaikan dengan latar belakang kehidupan dan kebutuhannya.
4. Pendidikan Kesetaraan
a.   Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP
1)   Program ini diprioritaskan pada anak usia 7-15 tahun atau lebih tua 2-3 tahun yang tidak sekolah, putus SD, lulus SD tidak melanjutkan ke SLTP dan putus SLTP dalam rangka menunjang Wajar Dikdas 9 tahun. Kenyataan menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni SD (94,5%) dan SLTP (55,7%) sehingga melalui Paket A dan Paket B akan memberikan kontribusi terhadap suksesnya Wajar 9 tahun.
 2) Untuk menjamin mutu hasil program, diupayakan pemenuhan kebutuhan dalam penyelenggaraan program belajar mengajar, seperti: (1) honorarium tutor ditingkatkan; (2) rasio bahan belajar atau modul untuk tiap warga belajar, satu orang satu set, (3) dalam penyelenggaraan program belajar diberikan pula latihan keterampilan sesuai dengan pilihan warga belajar, diutamakan untuk kelas terakhir (Paket A kelas V dan Paket B kelas 2), (4) uji kualitas diselenggarakan melalui ujian akhir nasional (Pehabtanas) dua kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Mei dan Oktober, (5) Kelompok belajar yang semula rata-rata jumlah warga belajar 30-40 orang tiap kelompok, dikurangi menjadi rata-rata 20 orang tiap kelompok (2003). Dengan berbagai penyesuaian di atas, diharapkan tercapainya standar mutu lulusan Paket A dan Paket B, sehingga apabila ada yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi tidak akan mengalami kesulitan
b.   Paket C
Program ini baru merupakan ujicoba akibat banyaknya animo masyarakat yang ingin memiliki pendidikan setara SMU. Pemerintah telah menyediakan dukungan antara lain berupa; (1) peningkatan mutu tenaga pengajar (tutor) melalui kegiatan pelatihan, (2) penyediaan modul, (3) pemberian subsidi biaya Unjian Nasional bagi warga belajar yang benar-benar berasal dari keluarga miskin.

5. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Masa dini usia merupakan periode kritis dalam perkembangan anak. Berdasarkan kajian neurology, pada saat bayi dilahirkan otaknya mengandung sekitar 100 milyar neuron yang siap melakukan sambungan antar sel. Selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang sangat pesat dengan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan antar  neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan ini harus diperkuat melalui berbagai rangsangan psikososial, karena sambungan yang tidak diperkuat akan mengalami penyusutan dan akhirnya tidak berfungsi. Inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Dalam kajian lain diungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50% kapasitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berusia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai 100% ketika anak berusia 18 tahun. Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya, dan selanjutnya perkembangan anak akan mengalami stagnasi.
Kualitas anak dini usia di samping dipengaruhi oleh faktor bawaan (
nature) juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, dan psiko-sosial yang diperoleh dari lingkungannya. Oleh karena itu kita harus mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dapat diperbaiki. Dan yang lebih penting lagi adalah agar anak memperoleh rangsangan-rangsangan intelektual, sosial dan emosional sesuai dengan tingkat usianya. Apabila program PAUD ini diperluas dalam arti semua anak usia dini memperoleh pelayanan tumbuh kembang dan pendidikan yang bermutu (kesehatan, gizi, dan psikososial) maka akan sangat mendukung suksesnya Wajar Dikdas 9 tahun, karena adanya kesiapan anak masuk sekolah akan menekan terjadinya mengulang kelas dan anak putus sekolah pada kelas-kelas awal Sekolah Dasar. Karenanya, program ini akan diperluas dan ditingkatkan mutu pelayannya melalui dukungan terhadap penyelenggara program penitipan anak, kelompok bermain dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis. Di samping itu kegiatan penguatan program dilakukan melalui pengembangan model, konsolidasi data sasaran program, sosialisasi program, imbal swadaya penyelenggaraan program PAUD, bagi lembaga yang menjangkau keluarga miskin, penguatan kelembagaan melalui pemberian dana bantuan kelembagaan, pengadaan bahan belajar, pelatihan ketenagaan, pemberian bantuan teknis, serta pemantauan dan pengendalian program. Sesuai dengan dinamika masyarakat, dan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan program PAUD di lapangan dengan sektor terkait, maka penanganan program PAUD melalui jalur pendidikan non formal difokuskan pada aspek pendidikannya, khususnya pada satuan PAUD non TK/RA dan pada pusat-pusat pelayanan anak usia 0-6 tahun lainnya seperti Posyandu dan Bina Keluarga Balita. Sedangkan aspek gizi, kesehatan dan kesejahteraan sosialnya diharapkan difasilitasi oleh sektor yang berkaitan.

6.  Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills)
a.   Pendekatan
Program pendidikan kecakapan hidup (life skills) melalui jalur pendidikan non formal dilakukan melalui pendekatan Broad Based Education (BBE) yang ditandai: (1) kemampuan membaca dan menulis secara fungsional, dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing (Inggris, Arab, Mandarin dan sebagainya), (2) kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah yang diproses lewat pembelajaran berfikir ilmiah, penelitian (explorative), penemuan (discovery) dan penciptaan (inventory), (3) kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi guna mendukung kedua kemampuan tersebut di atas, (4) kemampuan memanfaatkan ber-aneka ragam teknologi di berbagai lapangan kehidupan  (pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi-informasi, manufaktur dan industri, perdagangan, keseni-an, pertunjukkan dan olahraga), (5) kemampuan mengelola sumber-daya alam, social, budaya dan lingkungan, (6) kemampuan bekerja dalam tim, baik dalam sector informal maupun formal, (7) kemampuan memahami diri sendiri, orang lain dan lingkungannya, (8) kemampuan untuk terus-menerus menjadi manusia belajar, (9) kemampuan mengintegrasikan pendidikan dan pembelajaran dengan etika sosio-relegius bangsa berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

b.  Pengertian Kecakapan Hidup (life skills)
Konsep kecakapan hidup mempunyai cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan dan keterampilan dan yang diyakini sebagai unsure penting untuk hidup lebih mandiri (Broling, 1989). 

c.   Lingkup dan Prinsip Pendidikan Kecakapan Hidup
Kecakapan hidup meliputi kecakapan hidup untuk mengatur kebutuhan diri (daily living skills), memahami potensi diri dan dalam pergaulan sosial/lingkungan (personal/social skills), kecakapan hidup dalam pemilih keterampilan dan mengatur pekerjaan (vocasional/occupatio-nal) dengan prinsip belajar untuk memperoleh pengetahuan (learning to know), belajar untuk dapat berbuat atau bekerja sesuai dengan potensi diri (learning to do) dan belajar untuk menjadi orang yang berguna (learning to be) serta belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain (learning to live together).
1)  Daily living skills, antara lain meliputi: Pengelolaan kebutuhan pribadi, pengelolaan keuangan pribadi, pengelolaan rumah pribadi, kesadaran kesehatan, kesadaran keamanan, pengelolaan maka-nan gizi, pengelolaan pakaian, tanggung jawab sebagai pribadi warga Negara, pengeloaan waktu luang, rekreasi, kesadaran lingkungan.
2)  Personal dan social skills
Personal skills, pemahaman potensi diri yang dimiliki, percaya diri, komunikasi dengan orang lain, kemandirian, dan kepemimpinan.
3)  Vocasional/Occupational skills
Memilih pekerjaan, perencanaan kerja, kemampuan untuk me-nguasai berbagai keterampilan, persiapan keterampilan kerja, latihan keterampilan, penguasaan kompetensi menjalankan suatu profesi, kemampuan menguasai, menerapkan teknologi, meran-cang dan melaksanakan proses pekerjaan, menghasilkan produk barang dan jasa.
d.  Lembaga Penyelenggara
Dalam penyelenggara program pendidikan life skills di bidang pendidikan non formal dilaksanakan melalui kerjasama dengan (1) Pusat-pusat Kegiatan Belajar masyarakat (PKBM), (2) lembaga kursus PNF yang diselenggarakan oleh masyarakat, (3) lembaga pengem-bangan/pelatihan terpadu masyarakat, (4) lembaga perempuan, (5) lembaga kepemudaan, (6) Organisasi Kemasyarakatan Pemuda, (7) Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP), (8) Lembaga Kepemuda-an, (9) Sanggar Kegiatan Belajar, (10) Balai Pengembangan Kegiatan Belajar, (11) Perguruan Tinggi.

e.  Peserta Didik (Warga Belajar)
Kriteria peserta didik (warga belajar) adalah: (1) usia 16-35 tahun (prioritas), (2) tidak sekolah dan tidak/belum bekerja, (3) berasal dari keluarga miskin, (4) lulus seleksi yang diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara program.

f.   Lama Pendidikan dan Hasil yang diharapkan
    1. Tergantung dari jenis kecakapan hidup yang diselenggarakan (3 sampai dengan 6 bulan)
    2. Hasil yang diharapkan, warga belajar dapat: (1) berusaha mandiri dan diberi dana belajar dari lembaga penyelenggara, (2) bekerja pada perusahaan terkait dengan penghasilan yang layak.
g.  Pola Pendanaan
Block grant, yaitu: pendanaan langsung kepada lembaga penyeleng-gara setelah proposal dinilai layak oleh suatu tim penilai yang melibatkan berbagai pihak-pihak yang terkait.

7.   Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan ini diarahkan pada pendidikan dan pelatihan berusaha (Kejar Usaha) utamanya bagi warga belajar yang telah bebas buta aksara dan lulus Paket B namun tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Melalui program Kejar Usaha, warga belajar diberikan pelatihan praktis tentang bagaimana mengelola suatu usaha sebagai modal untuk mengembangkan usahanya. Di samping kejar usaha, disediakan pula beasiswa khusus bagi warga belajar Paket B yang telah tamat, agar mereka dapat belajar keterampilan di lembaga-lembaga kursus sesuai dengan pilihannya dan atau magang di berbagai tempat pemagangan. Harapannya setelah selesai belajar mereka dapat bekerja mandiri dan atau bekerja pada suatu perusahaan yang terkait.

8.   Program Pendidikan Perempuan
Program ini diarahkan pada upaya menghilangkan kesenjangan dan meningkatkan kesetaraan pendidikan antara lain melalui kajian berbagai produk yang bias gender baik yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, buku pelajaran dan partisipasi perempuan pada jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang dilaksanakan secara koordinatif dengan berbagai instansi terkait dan organisasi sosial yang berorientasi kepada perempuan. Sehingga terbentuklah forum gender yang anggotanya terdiri dari unsur birokrasi, akademisi dari perguruan  tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan, praktisi dan pemerhati. Untuk itu, tahun 2003 program ini akan ditindaklanjuti melalui sosialisasi dan promosi tentang pentingnya pengarusutamaan gender yang menjangkau seluruh propinsi serta kajian akademik dan operasionalisasi program (advokasi, fasilitasi, serta rencana aksi).

9.   Pembinaan Kursus
Pendidikan Non Formal yang diselenggarakan oleh masyarakat melalui kursus-kursus atau lembaga pendidikan keterampilan dalam tumbuh kembangnya sangat dipengaruhi oleh situasi pasar. Karenanya, peran pemerintah dalam pembinaan kursus diprioritaskan pada pemberian perizinan yang dalam era otonomi daerah telah dilimpahkan kewenangan pelayanannya kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Selain itu dikembang-kan juga standarisasi penyelenggaraan kursus dan uji kualitas yang dilaksanakan melalui ujian nasional. Dewasa ini tercatat sekitar 22.510 lembaga kursus tersebar di seluruh Indonesia, yang meliputi 131 jenis keterampilan. Lembaga kursus merupakan mitra dalam pengem-bangan Pendidikan Non Formal yakni diperankan dalam penyusunan kurikulum dan standarisasi kursus melalui 30 Sub Konsorsium yang telah terbentuk. Di samping itu, dalam pengembangan program pendidikan life skills secara bertahap dan selektif dipilih beberapa lembaga kursus sebagai penyelenggara program. 

Penutup
Perlu digarisbawahi dari apa yang saya kemukakan di atas, bahwa upaya sungguh-sungguh kita untuk meningkatkan SDM dan memasyarakatkan budaya membaca ditentukan oleh semua komponen bangsa baik pemerintah, penyelenggara dan pengelola pendidikan, pemerhati pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan, para penerbit, penggiat perbukuan dan masyarakat luas yang menjadikan pendidikan dan budaya membaca sebagai kekuatan Human investment dan social capital. Baik untuk kepentingan pembangunan SDM secara umum maupun untuk menciptakan masyarakat belajar. Jikalau semua komponen tersebut di atas dapat menjembatani terwujudnya sinergi kerjsama, maka isya-Allah cita-cita masyarakat belajar  dapat terwujud.

2 komentar:

  1. Tolong diberi pembatas pada tampilan awal agar di baca selanjutnya--
    kemudian jangan lupa daftar pustaka, agar lebih ilmiah, buku, sumber data, kutipan, artikel sampai laman web yang kamu pakai.. sehingga bisa dipertanggung jawabkan.. itu etika menulis.. ok... untuk materi sudah bagus...

    BalasHapus
  2. trimakasih pak... apakah perlu ada perbaikan untuk penambahan sumber dsb? oiya pak.. di bawah posting ini, masi ada beberapa inovasi hehehe

    BalasHapus